27 April 2009

FRAKTUR PENIS

 (EVALUASI KASUS)




PENDAHULUAN

Fraktur penis merupakan darurat urologi yang jarang terjadi1, pertama kali dilaporkan pada tahun 19242, sebanyak 183 laporan telah dipublikasikan dengan 1331 kasus sejak tahun 1935 sampai dengan tahun 20013.

Fraktur penis adalah ruptur satu atau kedua korpus kavernosum penis dengan atau tanpa korpus spongiosum karena trauma tumpul pada penis yang ereksi.4,5 Penyebab tersering adalah trauma saat koitus1,4, penyebab lainnya adalah masturbasi, manipulasi penis nokturnal yang tidak disadari atau untuk mengurangi ereksi6, jatuh dengan penis ereksi terbentur benda tumpul, atau penis yang terjepit pada celana yang ketat2,7. Kebanyakan (75 %) terjadi pada satu sisi, 25 % pada kedua sisi, dan 10 % dari keduanya melibatkan uretra4,8.

Pada saat ereksi aliran darah arteri ke penis menyebabkan korpus kavernosum dan spongiosum membesar ke arah longitudinal dan transversal sehingga penis menjadi keras dan mobilitasnya berkurang, tunika albuginea lebih tipis dari 2 mm mencapai 0,5 – 0,25 mm sehingga mudah robek jika ada trauma8,9. Penis akan bengkak, hematom, terasa nyeri, dan bengkok ke arah yang berlawanan dari sisi fraktur10. Hematom biasanya terbatas sampai fasia Buck’s, jika fasia Buck’s ikut terlibat maka hematom dapat sampai ke skrotum, perineum anterior, dan dinding abdomen bagian bawah11.

Umumnya penderita mengeluh fraktur penis akibat koitus dengan posisi pasangan di atas tubuh mengangkangi penis7,8. Saat koitus penis keluar dari vagina dan saat akan dimasukkan kembali penis membentur pubis atau perineum7. Semua penderita melaporkan adanya bunyi retak yang khas (“Cracking sound”) diikuti dengan hilangnya ereksi, nyeri hebat, penis udem dan berubah warna, serta terjadi perubahan bentuk penis11,12.

Sebelum tahun 1971, terapi pada fraktur penis dilakukan dengan konservatif yaitu dengan bidai penis, kompres es, ensim streptokinase untuk mencegah udem, sedatif dan estrogen untuk mencegah ereksi2,4. Terapi ini perlahan berubah sejak 1986, 80 % penderita fraktur penis dilakukan tindakan pembedahan10

Tindakan bedah pada fraktur penis dilakukan untuk mencegah komplikasi, yaitu : disfungsi ereksi, abses penis, nodul pada sisi ruptur, kurvatura penis permanen, nyeri pada saat ereksi, fistula corpouretral, fistula arteriovenosa, dan terbentuknya plak fibrotik4. Tiga jenis insisi yang dilakukan pada tindakan bedah yaitu : insisi langsung di atas defek, insisi circumscribing-degloving, dan insisi inguinal skrotal7.


BAHAN & CARA

Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dengan diagnosa klinik fraktur penis dirawat di unit gawat darurat Rumah Sakit Akademis. Karakteristik penderita dicatat, umur, status pernikahan, aktivitas yang menyebabkan trauma, keluhan yang dirasakan oleh penderita, dan waktu kejadian pada saat trauma hingga tiba di rumah sakit.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik (gambar 1), pemeriksaan tambahan darah rutin untuk persiapan operasi, serta pemeriksaan urinalisis.

Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea korpus kavernosum (gambar 2) dan korpus spongiuosum. Untuk menghindari kerusakan uretra pada saat eksplorasi, kateter 18 F dipasang sebelum operasi dan dilepas 3 hari setelah operasi. Penderita dipulangkan pada hari kelima.




Gambar 1. Fraktur penis











Robekan dijahit dengan vicryl 3-0 secara terputus (gambar 3) , dan kulit ditutup secara primer tanpa menggunakan drain dengan “Chromic Catgut” 3-0 secara terputus (gambar 4). Setelah itu dilakukan bebat tekan pada penis. Antibiotik perioperatif dengan cephalosporin generasi 3, dan diasepam untuk mencegah ereksi


HASIL

Tiga kasus fraktur penis antara Desember 2002 hingga Januari 2005, 2 kasus disebabkan trauma saat koitus dan 1 kasus karena manipulasi pada penis. Dari 2 kasus trauma saat koitus, 1 penderita dengan posisi di atas pasangannya dan 1 penderita dengan posisi di bawah pasangannya. Umur penderita antara 35 – 41 tahun (rata – rata 38 tahun) dan ketiga penderita telah menikah. Waktu kejadian hingga tiba dirumah sakit antara 2 – 72 jam (rata – rata 37 jam).

Semua penderita mendengar bunyi khas (cracking sound), yang dikuti dengan nyeri hebat, hilangnya ereksi, udem, hematom, dan penis yang membengkok. Tidak ada darah yang keluar dari orifisium uretra eksterna, dan tidak ada gangguan buang air kecil.

Dari pemeriksaan fisik, dua penderita mengalami fraktur pada sisi kanan, dan satu pada sisi kiri. Hal ini dilihat dari deviasi penis ke arah yang berlawanan. Pada saat eksplorasi ditemukan robekan pada korpus kavernosum kanan pada 2 pasien dan korpus kavernosum kiri 1 pasien. Dua penderita dengan robekan pada mid-shaft, dan 1 pada proksimal penis. Ditemukan juga robekan pada korpus spongiosum pada dua penderita tetapi tidak sampai merobek mukosa uretra.

Tabel 1. Kriteria penderita dan gejala klinik
Kriteria pasien
Kasus

Umur (tahun)
30 – 39
40 – 49

Status pernikahan
Menikah
Belum menikah


Gejala klinik
Cracking sound
Nyeri
Ereksi yang hilang
Udem dan hematom


Tabel 2. Temuan pada saat operasi

Penemuan
Kasus

Robekan korpus kavernosum
Kanan
Kiri

Letak
Proksimal
Mid-Shaft
Distal

Robekan korpus spongiosum

Tidak ditemukan adanya komplikasi post operasi pada ketiga penderita, kateter uretra dilepas pada hari ketiga dan penderita dapat miksi dengan normal. Penderita dipulangkan pada hari kelima post operasi. Follow up enam minggu setelah operasi, tidak ada deformitas pada penis, ereksi penis lurus, dan dapat koitus tanpa rasa nyeri.


DISKUSI

Dari hasil laporan kami memperlihatkan, fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Umur penderita pada laporan ini rata – rata 38 tahun, diliteratur dikatakan berkisar 26 – 41 tahun (Dikutip dari El Fadil et.al6).

Sebagian besar kasus, 2 dari 3 (66%) kasus penyebabnya trauma saat koitus. Dincel et.al.3 melaporkan 72,7% kasus, De Stefani et.al5 melaporkan 62,5% kasus, El Fadil et.al6 melaporkan 57 % kasus disebabkan trauma saat koitus. Tetapi Al Saleh BMS et.al.11 melaporkan hanya 22,2% yang disebabkan trauma saat koitus, sebagian besar 66,6% disebabkan manipulasi pada penis yang ereksi.

Umumnya trauma saat koitus terjadi pada saat penderita berada di bawah pasangannya, pada saat penis keluar dan akan dimasukkan kembali ke vagina, penis membentur pubis atau perineum7.

Walaupun diagnosis fraktur penis mudah ditegakkan secara klinis, tetapi penatalaksanaannya masih kontroversial. Belum ada penelitian jangka panjang yang membandingkan efektifitas antara terapi operatif dan konservatif3. Jallu et.al9 melaporkan 4 kasus fraktur penis yang berhasil baik dengan pengobatan konservatif berupa Oxyphenbutazone 3 x 200 mg dan diazepam oral 3 x 10 mg sehari selama 2 – 3 minggu. Tetapi banyak penulis yang menganjurkan untuk melakukan tindakan eksplorasi segera1,3,6,8,11.

Terapi konservatif memberikan 29 % komplikasi yaitu adanya bekuan darah, curvatura pada penis, infeksi, abses penis, ekstravasasi urin yang persisten, dan nyeri pada saat ereksi2,3,5,8. Lama tinggal di rumah sakit sekitar 14 hari dibandingkan terapi operatif yang rata – rata 6,6 hari.3 Pada 3 kasus kami semuanya dilakukan tindakan operasi dan tidak didapatkan komplikasi yang signifikan, dan lama perawatan di rumah sakit 5 hari.

Preoperatif cavernosografy dianjurkan oleh beberapa penulis untuk melihat sisi yang robek dan merencanakan tindakan operasi2,3,10. Kebanyakan pemeriksaan cavernosografy dilakukan jika hasil fisis diagnostik meragukan, sedangkan anamnesis ada indikasi kemungkinan cedera corpus cavernosum5,7. Semua kasus kami segera dilakukan tindakan operasi eksplorasi berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang jelas tanpa melakukan pemeriksaan kavernosografy.

Cedera pada uretra akibat fraktur penis dilaporkan sekitar 0 – 3% di Asia, 20 – 38 % di AS dan Eropa2. Uretrografy Retrogade dilakukan jika ada kecurigaan cedera pada uretra dengan ditemukan gangguan berkemih, hematuri atau adanya darah pada orifisium uretra eksterna.

Pemasangan kateter preoperatif masih kontroversial, ada yang menyarankan sebagai suatu tindakan rutin setelah pada pemeriksaan fisis tidak ada tanda – tanda cedera uretra6. Pemasangan kateter memudahkan diseksi intraoperatif tanpa mencederai uretra dan mencegah kontaminasi luka post operasi5,7. Pada kasus kami kateter dilepas 3 hari post operatif. Perioperatif diberikan antibiotik profilaksis Cephalosporin generasi ketiga.

Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea. Robekan di jahit dengan Vicryl 3-0 secara interuptus, kulit dijahit dengan “chromic catgut” 3-0 secara interuptus.

Semua penderita dirawat selama 5 hari dalam keadaan baik. Follow up sampai 6 minggu, tidak ada deformitas penis, penis dapat ereksi dengan lurus tanpa rasa nyeri dan coitus dapat dilakukan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kolfman L, Cavalcanti AG, Manes CH, Filho DR, Favorito LA. Penile Fracture – Experience in 56 Cases. International Braz.J.Urol. 2003.29(1):35–39.

2. Jack GS, Garraway I, Reznichek R, Rajfer J. Current Treatment Options for Penile Fractures. Reviews in Urology. 2004. 6(3):115-20.

3. Dincel C, Cascurlu T, Resim S, Bayraktar Z, Tasci A, Sevin G. Fracture of the Penis. Eastern Journal of Medicine. 1998.3 (1) : 17 – 19.

4. Palinrungi AM. Fracture of the Penis : A Case Report. J.Med.Nus. 2002. 23(1):560–63, .

5. El Malik EFMA, Ghali AM, Ibrahim AIA, Rashid M. Fracture of the Penis : A Critique of Clinical Features and Management. http://www.kfshrc.edu.sa/annals/175/96-268.html. 01/09/2003

6. DE Stefani S, Stubinski R, Ferneti F, Simonato A, Cermignani G. Penile Fracture and Associated Urethral Injury. http://www.duj.com/article/De_Stefani2.html 21/03/2005

7. Choe JM, Heiland M, Ghoniem GM, Talevarea F, Morey FA, Wolf JS, Leslie SW (Edits).Penile Fracture and Trauma http://www.emedicine.com/med/topic3415htm 12/28/2002.

1.8. Penis Fracture. Http://www.herbolove.com/library/resource/fracture/ov.asp 01/06/2003

9. Jallu A, Wani NA, Rashid PA. Fracture of the Penis. Br.J.Urol, 1980.123:285–6.

10. Lehman E, Kremer S. Fracture of the Penis. Surgery Gyn&Obs.1990.171:148–50..

11. Al Saleh BMS, Ansari ER, Al Ali IH, Tell JY, Saheb A. Fractures of the Penis seen in Abu Dhabi. J.Urol. 1985.134:274-5.

12. Philip T, Collin J. The Fractured Shaft-an unusual penile injury. Br.J.Surg. 1983. 70:93.







ABSTRAK

Pendahuluan : Fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Penyebab tersering trauma saat koitus. Kami laporkan 3 kasus dengan tindakan operasi.

Bahan dan Cara : Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dilakukan operasi darurat setelah mengalami fraktur penis. Dilakukan eksplorasi dengan circumscribbing incision, debridemand, dan penjahitan primer robekan tunika albuginea.

Hasil : Umur rata – rata penderita 38 tahun ( 35 - 41 tahun), Fraktur penis karena trauma saat koitus 2 penderita, manipulasi penis saat ereksi 1 penderita. Lama perawatan 5 hari dengan pemasangan kateter hingga 3 hari post operasi. Tidak ditemukan komplikasi post operasi, 6 minggu setelah operasi penderita dapat ereksi dengan lurus dan melakukan koitus tanpa rasa nyeri.

Kesimpulan : Fraktur penis didiagnosis secara klinis, terapi operatif menghindari komplikasi dan mengembalikan fungsi penis kembali normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar