24 Juli 2009

KTI mencuci tangan

                                                                                      BAB I
                                                                             PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang


Masalah kesehatan anak di setiap negara berbeda, karena perbedaan lingkungan yang mempengaruhinya. Dalam garis besarnya, masalah tersebut di kelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu masalah yang di negara maju dan di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Adapun masalah kesehatan yang terdapat di negara berkembang seperti penyakit infeksi, parasit dan kurang gizi. Kejadian dan penyebabnya bersifat komplek dan di pengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah lingkungan, biologi, psikologis, sosial maupun faktor prilaku masyarakat yang saling berinteraksi ( Markum. A. H, 1996:7).
Di perkotaan, warga yang miskin hidup berdesakan sesama warga yang miskin pula, sedangkan di desa tempat tinggal mereka biasanya hanyalah sebuah gubuk yang gelap disertai dengan ventilasi dan fasilitas sanitasi yang buruk. Kebersihan lingkungan dan perorangan, seperti juga halnya kebersihan tangan mempunyai arti yang besar dalam memelihara dan mempertahankan kesehatan manusia. Jika kebersihan tangan buruk, maka akan memberi dampak terserang penyakit pada seluruh golongan usia, terutama anak. Pada anak usia sekolah masalah khusus yang sering terjadi adalah malnutrisi, penyakit infeksi, penyakit saluran pencernaan dan penyakit kulit (Jellief. D. B. 1994 : 2). Banyak anak tidak melakukan cuci tangan sebelum makan, sehingga dapat berakibat bakteri yang ada di tangan akan dibawa masuk bersama makanan melalui mulut dan tenggorokan sampai ke dalam saluran pencernaan sehingga terjadinya suatu penyakit saluran pencernaan.
Berdasarkan survey awal di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya pada bulan Juli 2009 dari 27 responden yang diteliti, 6 siswa atau 22,22 % melakukan cuci tangan sebelum makan, 9 siswa atau 33,33 % jarang melakukan cuci tangan sebelum makan, dan 12 siswa atau 44,44 % tidak pernah melakukan cuci tangan sebelum makan.
Kenyataan ini memberi gambaran bahwa masih banyak ditemukan anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Sehingga dapat menimbulkan kondisi tubuh anak yang rentan memudahkan terjadinya infeksi, baik karena virus, bakteri, maupun parasit. Oleh karena itu, selain menghindari sumber penyakit, biasanya menjaga kebersihan tangan sejak usia dini. Infeksi yang sederhana pun biasanya menular melalui udara, makanan atau langsung ke kulit tubuh. Dari tangan yang kotor, kulit tubuh yang kotor, serta lingkungan yang kotor dapat menjadikan penyakit pada anak (Amaranila Lalita D, 2001: 46)
Budaya atau adat istiadat tempat tinggal anak akan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari, seperti halnya dapat dilihat dari kebiasaan anak mencuci tangan. Keyakinan anak tentang kesehatan, pola didik dan pola asuh terhadap anak dipengaruhi oleh nilai budaya, selain nilai agama dan moral yang dianutnya (Yupi Supartini, 2004 : 22). Budaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku anak yang selama ini mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, budaya yang demikian merupakan faktor terjadinya suatu penyakit infeksi saluran pencernaan. Mereka menganggap bahwa mencuci tangan sebelum makan tidaklah terlalu penting .Dengan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian guna menghilangkan kebiasaan tersebut.
Faktor yang berpengaruh dalam timbulnya masalah adalah peran orang tua. peran orang tua menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Nasrul Effendi, 1998 : 34). Salah satu Peran orang tua adalah sebagai pendidik. Apabila peran ini dilaksanakan dengan baik maka kebiasaan seorang anak akan menjadi lebih baik dan anak akan termotivasi untuk melakukan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. 
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini diantaranya adalah melalui kerjasama antara Departemen Kesehatan RI, Menko Kesra dan United state Agency International Developtment (USAID) melalui Environment Service Program (ESP). Dalam sambutan Gubernur Jatim H. Imam Utomo menekankan betapa pentingnya budaya cuci tangan itu bisa dipahami dan selalu dilakukan oleh semua orang yang merupakan langkah efektif agar terhindar dari bahaya penyakit seperti diare, muntaber yang disebabkan oleh kuman yang menempel di tangan kita saat menyentuh makanan yang akan kita makan dan saya harapkan dengan melalui kampanye cuci tangan dengan sabun ini perlu ditanamkan sejak usia dini dan juga melaksanakan sosialisasi secara efektif kepada masyarakat agar tujuan peningkatan derajad kesehatan masyarakat dapat tercapai.
Dari paparan di atas maka kami ingin meneliti “ Gambaran Peran Orang Tua Dalam Kegiatan Mencuci Tangan Sebelum Makan di TK ST. Aisyah Bustanul Akhfa 23 Jl. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
1.2Rumusan Masalah
  Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan ?
1.3Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya. 

1.4Manfaat Penelitian
1.4.1Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman nyata bagi peneliti dalam proses penelitian.
1.4.2Bagi Institusi
Sebagai dasar dan masukan untuk perkembangan ilmu yang berhubungan dengan mata kuliah Keperawatan anak mencuci tangan sebelum makan. 
1.4.3Bagi Istitusi Terkait
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai masukan dalam membantu meningkatkan kebersihan tangan pada anak.
1.5Batasan Penelitian

  Dari latar belakang di atas, terdapat beberapa faktor yang timbul. Pada penelitian ini penulis membatasi pada gambaran peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya Tahun 2009.

                                                                          BAB II
                                                          TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas teori tentang : (1) Konsep orang tua, (2) Konsep anak usia pra sekolah, (3) Konsep mencuci tangan dan, (4) Kerangka Konsep.
2.1Konsep Orang Tua


2.1.1Pengertian
Orang tua bisa disebut sebagai orang tua karena ia memainkan dua peranan sekaligus dalam kehidupan di dunia ini yaitu peran sebagai orang tua dan peran sebagai anak (Muhydin Muhammad, 2003:93).
Orang tua adalah dua orang yaitu ayah dan ibu yang telah melahirkan kita atau orang yang mengadopsi anak berdasarkan catatan hukum.
2.1.2Peran Orang Tua
Adalah peran yang harus dimainkan oleh orang tua dalam konteksnya sebagai ayah dan ibu bagi anaknya (Muhammad M, 2003:96). Peranan itu adalah :
1)Pengasuhan
Mengasuh anak lebih diorientasikan sebagai pengawal dalam memantau perkembangan anak.
2)Perawatan
Merawat anak berkaitan dengan dimensi fisik atau lahir anak, seperti papan, pangan dan sandang.


3)Pendidikan
Mendidik anak berkaitan dengan sosialisasi nilai-nilai kepada anak, seperti memberi pendidikan kepada anak tentang pentingnya mencuci tangan sebelum makan. Dengan cara memberi penjelasan dan contoh kepada anak untuk melakukan cuci tangan sebelum makan. Hal tersebut akan menjadikan anak untuk termotivasi membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan. 
4)Pembelajaran
Pembelajaran terhadap anak erat kaitannya dengan penumbuh-kembangan pembebasan dan pendewasaan anak.
 Menurut Nasrul Effendi (1998:34), peran orang tua adalah :
1)Peran Ayah 
Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagian kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
2)Peran Ibu
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.


2.1.3Kewajiban Orang Tua Kepada Anak
Menurut Burhanuddin Salam (2000:198), kewajiban orang tua kepada anak adalah :
1)Menjaga keselamatan anak
Dimulai sejak dalam kandungan rahim ibunya, anak memerlukan perhatian sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
2)Mendoakan keselamatan anak
Orang tua berkewajiban untuk mendoakan keselamatan anak agar menjadi anak yang shaleh dan terhindar dari kecelakaan.
3)Mengakikahkan anak
Pada hari ketujuh dari kelahiran bayi disembelih kambing sebagai akikah, di cukur rambut bayi dan diberi nama yang baik.
4)Menyusui dan memberi makan
Selama kurang lebih 2 tahun anak disusukan oleh ibunya dan seterusnya orang tua berkewajiban memberi makan secara wajar menjelang dewasa dimana masanya sudah dapat dilepas oleh pihak orang tua untuk berdiri sendiri.
5)Memberikan kiswah atau pakaian dan tempat tidur yang layak.
6)Mengkhitankan.
7)Memberikan ilmu.
Memberikan ilmu berarti mengajar sendiri secara langsung maupun memasukkan anak ke dalam salah satu lembaga pendidikan.
8)Menikahkan anak
Orang tua mempunyai kewajiban untuk menikahkan anaknya apabila sudah mencapai baligh atau dewasa.
2.2Konsep Dasar Anak Usia Pra Sekolah
2.2.1Batasan istilah
Anak pra sekolah adalah anak yang berumur antara 3 sampai 6 tahun dimana anak menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh mereka dan merasa cemas menunggu awal pendidikan formal (Potter dan Perry, 2005 : 663).
Anak pra sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan pada usia 2,5 sampai 5 tahun atau belum masuk sekolah (Aziz Alimul, 2005 : 6).
2.2.2Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pra Sekolah
Menurut Frankenburg, dkk (1981) dikutip dari Soetjiningsih, 1998 : 29 mengemukakan bahwa terdapat 4 parameter perkembangan yang dipakai dalam menilai perkembangan anak balita yaitu :
1.Personal sosial (kepribadian atau tingkah laku sosial). Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2.Fine motor adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot – otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda dan lain – lain.
1)Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.


2)Gross motor (perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
2.2.2.1 Pertumbuhan
 Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel – sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel.
1) Pertumbuhan Fisik
 Pada usia ini, proporsi tubuh anak berubah secara dramatis, rata – rata tingginya 90 – 110 cm dan beratnya 10 – 13 kg. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan giginya semakin lengkap atau komplit sehingga sudah menyukai makanan padat, seperti daging, sayur, buah dan kacang – kacangan. Pertumbuhan otaknya sudah mencapai 75% dari ukuran dewasa, pernafasan menjadi lebih lambat dan mendalam, denyut jantung lebih lambat dan menetap.
2.2.2.2 Perkembangan 
  Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur atau fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan yang terorganisasi (Nursalam, 2005 : 32 – 33).






Menurut Djawad Dahlan (2000, 163 – 175) perkembangan dibedakan sebagai berikut : 
1) Perkembangan Intelektual
  Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode pre operasional yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional atau “symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan atau mewakili sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol (kata – kata, bahasa gerak atau gesture dan benda). Menurut teori Erikson, pada masa pra sekolah anak berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilty) dimana anak berkembang rasa ingin tahu dan daya imajinasinya (Nursalam, 2005 : 39). 
2) Perkembangan Emosional
  Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari Akunya, bahwa Akunya (dirinya) berbeda dengan bukan Aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dapat dipenuhi orang lain. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa ini antara lain rasa takut karena mengenal adanya bahaya, rasa cemas yang muncul dari situasi yang dikhayalkan, rasa marah karena tidak senang terhadap pemenuhan keinginannya yang terhambat, rasa cemburu pada saudaranya karena telah merebut kasih sayang orang tuanya, rasa ingin tahu yang ditandai dengan pertanyaan – pertanyaan yang diajukan anak.





3) Perkembangan Motorik
  Pada perkembangan motorik kasarnya anak mampu mengendarai sepeda roda tiga, melompat dan meloncat pada satu kaki, menangkap dan melempar bola dengan baik, mencoba berdansa tetapi keseimbangan anak mungkin tidak adekuat. Sedangkan pada perkembangan motorik halusnya, anak mampu menggunakan gunting dengan baik untuk memotong gambar mengikuti baris, dapat memasang sepatu tetapi tidak mampu mengikat talinya, dalam menggambar meniru lingkaran, menyalin bentuk kotak, dan mampu mencetak huruf dan angka atau kata seperti nama panggilan. 
4) Perkembangan Bahasa
  Pada masa ini anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya, anak banyak menanyakan nama dan tempat, tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu dan anak mengetahui nama – nama hari dalam seminggu, bulan dan kata yang berhubungan dengan waktu lainnya.
5) Perkembangan Sosial
  Menurut teori Sigmund Freud, pada usia ini anak berada pada fase phalik, dimana anak mulai mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki – laki (Nursalam, 2005 : 39). Sehingga anak sudah aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Anak mulai mengetahui aturan – aturan baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain, sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan, anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain, dan anak mulai dapat bermain bersama teman sebayanya.



6) Perkembangan Moral
  Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebayanya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik, boleh, diterima, disetujui atau buruk, tidak boleh, ditolak dan tidak disetujui. Berdasarkan pemahamannya itu, maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku (misalnya : mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur).
2.3 Konsep Mencuci Tangan
2.3.1Pengertian
Membersihkan tangan dari segala kotoran, dimulai dari ujung jari sampai siku dan lengan dengan cara tertentu sesuai dengan kebutuhan (Dinkes, 1994).
Menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan yang kemudian dibilas dengan air mengalir (Potter dan Perry, 2005:951). 
2.3.2Tujuan
(1)Mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan.
(2)Menjaga kebersihan perseorangan (Dinkes, 1994:17). 
(3)Untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi mikroba total yang ada pada saat itu (Potter dan Perry, 2005:951).  
2.3.3Macam-macam cara mencuci tangan
(1)Cara biasa
(2)Cara desinfeksi
(3)Cara steril
1) Mencuci tangan dengan cara biasa
Pengertian :
Membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan.
Tujuan :
(1)Mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan.
(2)Menjaga kebersihan perseorangan.
Persiapan :
(1)Air bersih yang mengalir atau air di dalam baskom.
(2)Sabun.
(3)Sikat lunak (bila diperlukan)
(4)Handuk/ lap bersih dan kering.
Pelaksanaan :
(1)arloji atau aksesoris harus dilepas (bila memakai).
(2)Tangan sampai siku dibasahi, kemudian disabuni dan digosok atau disikat bila perlu.
(3)Tangan selanjutnya dibilas dengan air bersih, dan dikeringkan dengan menggunakan handuk/ lap yang kering.
2) Mencuci tangan dengan cara desinfeksi
Pengertian :
Mencuci tangan dengan larutan desinfektan, khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien berpenyakit menular.


Tujuan :
(1)Mencegah terjadinya infeksi silang.
(2)Menjaga kebersihan perseorangan.
Persiapan :
(1)Air bersih yang mengalir atau air di dalam baskom.
(2)Larutan desinfektan, antara lain lysol, savlon.
(3)Handuk atau lap kering.
Pelaksanaan :
Tangan mulai dari ujung jari sampai siku dibasahi dengan air mengalir, setelah itu direndam sekurang-kurangnya dua menit di dalam larutan desinfektan, kemudian dibilas dengan air bersih dan keringkan dengan handuk atau lap kering.
1)Mencuci Tangan dengan Cara Steril
Pengertian
Mencuci tangan secara steril, khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan.
Tujuan :
(1)Mencegah terjadinya infeksi silang.
(2)Menjaga kebersihan perseorangan.
Persiapan :
(1)Kran harus mengalir yang mempunyai tangkai panjang atau khusus.
(2)Sikat steril dalam tempatnya.
(3)Alkohol 70% dalam tempatnya.
(4)Sabun.
Pelaksanaan :
(1)Bila memakai aksesoris harus dilepas. Lengan baju digulung sampai di atas siku.
(2)Kran di buka, tangan dibasahi sampai siku, disabuni dan digosok dengan jari sekurang-kurangnya dua menit, kemudian dibilas (sabun tetap dipegang).
(3)Ambil sikat, kemudian tangan disabuni lagi dan disikat mulai dari jari-jari terutama kuku, sela-sela jari, punggung dan telapak tangan, sekurang-kurangnya 10 kali. Setelah itu penyabunan dan penyikatan dilakukan pada kedua lengan, masing-masing sekurang-kurangnya enam kali.
(4)Tangan dibilas mulai dari ujung-ujung jari sampai ke siku (sabun dan sikat tetap dipegang).
(5)Tangan disabuni, disikat dan dibilas lagi seperti tadi. Ini diulang beberapa kali dalam waktu sekurang-kurangnya 15 menit.
(6)Setelah selesai, sabun dan sikat dikembalikan ke tempatnya. Tangan dibilas dan tetap diarahkan ke atas sehingga air dari tangan mengalir ke siku.
(7)Kran ditutup dengan siku.
(8)Tangan dikeringkan dengan lap kering steril. Satu bagian dari lap seyogyanya hanya dipakai untuk satu tangan, dan bagian yang lain untuk tangan yang sebelah lagi.

2.4Kerangka Konsep

 
 




Keterangan :
 : yang diteliti
 : yang tidak diteliti

Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Peran Orang tua Dalam Kegiatan Mencuci Tangan Sebelum makan pada Anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya Tahun 2009.
 
 Kegiatan mencuci tangan sebelum makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, peran orang tua (pengasuh, perawatan, pendidik, pembelajaran), dan lingkungan. Apabila faktor-faktor tersebut mendukung dengan baik, maka anak akan terbiasa mencuci tangan sebelum makan. 
Pada penelitian ini akan membahas tentang peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya Tahun 2009. 

                                                                            BAB III
                                                                  METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:19). Dalam bab ini akan dibahas tentang (1) Desain Penelitian, (2) Waktu Dan Tempat Penelitian, (Kerangka Penelitian, (4) Sampling Desain, (5) Identifikasi Variabel, (5) Definisi Operasional, (7) Pengumpulan Data Dan Analisa Data, (8) Etika Penelitian, Dan (9) Keterbatasan Penelitian.
3.1Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian (A. Aziz Alimul Hidayat, 2003:27). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran tentang suatu keadaan obyek (Soekidjo Notoatmodjo. 2005:128). Penelitian ini akan menggambarkan peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan.

3.2Waktu dan Tempat Penelitian 
3.2.1Waktu dan Penelitian
Waktu penelitian mulai dari pengambilan data survey awal sampai dengan penyusunan laporan penelitian bulan Juli tahun 2009. 

3.2.2Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
3.3Kerangka Kerja
Kerja merupakan tahapan dalam suatu penelitian yang menyajikan alur penelitian, terutama yang digunakan dalam penelitian (Nursalam, 2003:211). Adapun rencana kerja dalam penelitian ini adalah tergambar sebagai berikut : 











.





Gambar 2.3 : Kerangka Kerja Penelitian Gambaran Peran Orang Tua dalam kegiatan Mencuci Tangan Sebelum Makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya 2009.

3.4Sampling Desain 
3.4.1Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006: 55). Pada penelitian ini, populasi adalah seluruh orang tua anak usia 3 - 4 tahun sebanyak 120 orang di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
3.4.2Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam, 2001:65). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian orang tua anak usia 3 – 4 tahun di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 Jl. Mojo Kidul No 3 Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi.
3.4.3Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2001:65). Pada penelitian ini sampel yang layak diteliti adalah: 
1)Orang tua yang memiliki anak usia 3 - 4 tahun
2)Bersedia diteliti dengan menandatangani informed consent.
3.4.4Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2006:55). Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003:97).
Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara total sampling atau sampling jenuh yaitu cara pengambiolan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (A. Aziz Alimul H., 2007: 74).

3.5Identifikasi Variabel
Variabel adalah karakteristik yang memberikan nilai beda tentang sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Nursalam, 2003:101).
Pada penelitian ini hanya menggunakan variabel tunggal. Variabel penelitiannya adalah gambaran peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan.

3.6Definisi Operasional
Definisi operasional gambaran peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
Tabel 3.1 Definisi Operasional Gambaran Peran Orang Tua Dalam Kegiatan Mencuci Tangan Sebelum Makan pada anak usia 3 – 4 tahun di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya
Variabel
Definisi
Operasional
Indikator
Alat ukur
Skala
Skor
Variabel penelitian adalah peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan 
Tindakan orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan.

1.Pengasuh
2.Perawatan
3.Pendidik
4.Pembelajaran
Kuesioner
1-3
4-5
6-7
8-10
Ordinal
1.Baik
76-100%
2.Cukup
56-75%
3.Kurang
<56%
Jawaban 
“benar”
skor : 1
Jawaban 
“salah”
skor : 0

3.7Pengumpulan Data dan Analisa Data
3.7.1Pengumpulan data
Setelah mendapat izin dari beberapa pihak yang terkait diantaranya adalah Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya, Kepala TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya, peneliti membuat persetujuan dari responden sebagai subyek penelitian yaitu sebagian orang tua dari anak usia 3 - 4 tahun. Kemudian peneliti membagikan kuesioner kepada orang tua untuk menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner. Bila orang tua tidak mengerti tentang pertanyaan dari kuesioner maka peneliti membantu menjelaskan atau langsung wawancara dengan orang tua menggunakan kuesioner atau (indept interview)
3.7.2Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:48). Pada penelitian ini peneliti memberikan pertanyaan terbuka kepada responden dengan kuesioner tentang berbagai uraian yang berhubungan dengan peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya. Dalam hal ini kuesioner yang diajukan pada responden yang terbentuk pertanyaan terbuka (open ended questioner). Pilihan jawaban sudah ditentukan peneliti dengan multiple choice yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden tentang peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
3.7.3Analisa Data
Setelah data terkumpul dilakukan penyuntingan data dan coding. Teknik pemberian skor pada kuesioner dengan menggunakan skor ordinal. Untuk jawaban “benar” bernilai 1 dan jawaban “salah” bernilai 0. data diolah dengan menggunakan skala ordinal, apabila jumlah nilai 76-100% artinya peran orang tua baik, 56-76% artinya peran orang tua cukup, dan nilai <56% artinya peran orang tua kurang. Selanjutnya data yang telah terkumpul dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel untuk mengetahui peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.

3.8Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini terlebih dahulu peneliti mengajukan izin pada Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya, Kepala TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kuesioner dikirim ke subyek yang diteliti. Penelitian menekankan masalah etika yang meliputi :
3.8.1Informed Consent atau persetujuan menjadi responden
Sebelum mengambil sampel terlebih dahulu meminta izin kepada subyek yang akan diteliti, baik secara lisan maupun lembar persetujuan atas kesediannya dijadikan subyek penelitian dengan tujuan agar obyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian.
3.8.2Anonimity atau tanpa nama
Nama subyek tidak perlu dicantumkan pada pengumpulan data untuk mengetahui keikutsertaan. Peneliti cukup dengan menuliskan code pad masing-masing di lembar pengumpulan data.
3.8.3Confidentiality atau kerahasiaan
Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

3.9Keterbatasan
3.9.1Pengumpulan data dengan lembar kuesioner memiliki jawaban lebih banyak dipengaruhi oleh sikap dan harapan pribadi yang bersifat obyektif, sehingga hasilnya kurang memiliki kualitatif.
3.9.2Alat untuk mengumpulkan data atau lembar kuesioner tidak diujicobakan terlebih dahulu sehingga memungkinkan timbulnya missed perception.
Waktu, biaya dan jumlah responden yang kurang sehingga kurang representative untuk mewakili populasi

                                                                            BAB IV
                                               HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil pengumpulan data dari responden yang diperoleh tanggal 13-15 Juni 2009 dan pembahasan. Penyajian dimulai dari data umum tentang gambaran lokasi penelitian dan karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, umur orang tua, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, usia anak dan jenis kelamin anak. Data khusus disajikan mengenai peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak usia 3 - 4 tahun di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
4.1Hasil Penelitian
4.1.1Data Umum
4.1.1.1Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya, dengan lokasi sebelah barat berbatasan dengan Kantor Kecamatan Deket, timur Kantor Koramel, selatan jalan raya Jakarta-Surabaya, dan sebelah utara perumahan penduduk. SD ini mempunyai luas bangunan 400 m2 yang terdiri dari 6 kelas, 1 ruang guru, 1 toilet, dan 1 ruang perpustakaan.
Jumlah siswa kelas 1 tahun 2009 sebanyak 27 anak, yang terdiri dari 15 siswa perempuan dan 12 siswa laki-laki. SDN Deket Wetan II Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dibantu 9 orang guru, yang terdiri dari 6 guru kelas, 1 guru bahasa Inggris, 1 guru agama, dan 1 guru olahraga.
4.1.1.2Karakteristik Responden
  Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, usia anak, dan jenis kelamin anak.
1)Distribusi Jenis Kelamin Responden 
  
Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian responden berjenis kelamin perempuan yaitu 74%. 

2)Distribusi Umur Responden 
  

Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.2 Distribusi Umur Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian responden berumur 20-45 tahun. 

3) Distribusi Pendidikan Responden 
  








Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.3 Distribusi Pendidikan Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian responden berpendidikan SMA/ sederajat (67%). 

4)Distribusi Pekerjaan Responden 
  








Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.4 Distribusi Pekerjaan Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian responden tidak bekerja (59%). 


5) Distribusi Jumlah Anak 
  









Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.5 Distribusi Jumlah Anak Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian jumlah anak 2-3 anak atau 67% yang dimiliki oleh responden. 

5)Distribusi Umur Anak 
  








Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008

Gambar 4.6 Distribusi Umur Anak Responden di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya berumur 4 tahun (56%).


6)Distribusi Jenis Kelamin Anak Responden
  







Sumber : Data Primer Penelitian Juni 2008
Gambar 4.7 Distribusi Jenis Kelamin Anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya tahun 2009.

  Gambar di atas menunjukkan lebih dari sebagian anak berjenis kelamin perempuan 56%.

4.2Data Khusus
4.2.1Peran Orang Tua 
Peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya terdapat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Peran Orang Tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan Pada Anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya Tahun 2009.
 

Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa mayoritas peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya adalah baik (88,9%).

4.3Pembahasan
Hasil penelitian dari tabel 4.1 memberikan gambaran bahwa mayoritas atau 88,9% dari 27 responden orang tua berperan baik dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya.
Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik responden yang hampir seluruhnya (74%) adalah perempuan dimana pada umumnya seorang perempuan lebih memiliki sifat keibuan sehingga mereka bersedia untuk kebahagiaan anaknya (Kartini Kartono, 1999). Dengan segala upaya seorang ibu akan berusaha untuk melindungi anaknya dari segala macam bahaya dan memenuhi segala kebutuhan anak, terutama mendampingi anak dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan. Seorang ibu akan selalu mengingatkan kepada anaknya untuk melakukan cuci tangan sebelum makan, dengan memenuhi segala kebutuhan anak misalnya kebutuhan nutrisi, pakaian, tempat tinggal dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga kebersihan tangan sebelum makan. Ikatan seorang ibu dengan anak sangatlah kuat, pada umumnya seorang ibu lebih dekat dengan seorang anak sehingga pada saat melakukan cuci tangan sebelum makan sangat memerlukan dampingan dari seorang ibu. Hal ini sangat berpengaruh dalam memberikan motivasi pada anak untuk selalu melakukan cuci tangan sebelum makan.
Selain karakteristik responden yang hampir seluruhnya (56%) perempuan dan berusia 20-45 tahun yang merupakan usia reproduktif, dimana tingkat kematangan sebagai orang tua sudah terbentuk, dalam memotivasi anak mencuci tangan sebelum makan sudah didasarkan atas pemikiran mengenai baik buruknya, sehingga tangan anak sebelum makan tetap bersih karena orang tua telah mampu menjalankan tugasnya. Disamping itu orang tua yang memiliki usia ini mudah untuk memahami, apabila anak tidak melakukan cici tangan sebelum makan, dapat mengakibatkan bakteri yang ada di tangan akan di bawah masuk bersama makanan melalui mulut dan tenggorokan sampai ke dalam saluran pencernaan sehingga terjadinya suatu penyakit saluran pencernaan(Jellief. D. B. 1994 : 2). 
Bila ditinjau kembali gambar 4.3 lebih dari sebagian (67%) pendidikan responden adalah SMA/ sederajat sehingga memungkinkan lebih mudah menerima informasi dan memiliki kemampuan yang lebih untuk mengajarkan kebiasaan kepada anak untuk mencuci tangan sebelum makan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, maka orang tua akan lebih mengerti betapa pentingnya mencuci tangan sebelum makan pada anak. Dengan begitu mereka tidak akan merasa ragu lagi kalau kebersihan tangan sebelum makan tetap terjaga kebersihannya. Dengan selalu memperhatikan kebersihan tangan sebelum makan dapat membantu dalam proses pencegahan penyakit yang masuk melalui tangan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat sikap seseorang terhadap nilai-nilai baru yang diperkenalkan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:16).
 Lebih dari sebagian (59%) responden tidak bekerja sehingga mereka memiliki banyak waktu luang untuk menemani anak dalam segala aktivitas. Termasuk mengawasi kebiasaan yang dilakukan oleh anak. Seperti halnya memperhatikan kebiasaan yang dilakukan anak sebelum makan. Karena waktu mereka yang banyak diluangkan bersama anak, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengawasi perilaku anak sehari-hari, terutama dalam hal mencuci tangan sebelum makan. Mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih dari orang tua atau setidaknya mereka bisa menjadi teman bagi anaknya agar mereka bisa merasakan kasih sayang (A. Aziz Alimul Hidayat).
 Lebih dari sebagian responden memiliki 2-3 anak (67%), dengan demikian orang tua sudah berpengalaman dalam merawat anak, termasuk mendidik anak, misalnya mengajarkan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Orang tua dapat membagi perhatiannya ke setiap anak mereka secara merata. Anak yang lebih besar mejadi contoh adik-adiknya, sehingga melalui pengalaman yang ada, dapat memudahkan orang tua dalam mengajarkan cuci tangan sebelum makan pada anaknya. Orang tua seperti ini juga dapat memberikan penjelasan yang lebih baik kepada anaknya, terutama penjelasan tentang pentingnya mencuci tangan sebelum makan. Penjelasan yang mudah dipahami oleh seseorang anak adalah dapat diwujudkan dengan suatu perbuatan, seperti halnya bersedia melakukan cuci tangan sebelum makan, setelah diberi penjelasan (Steven P. Shelor :593). Hal tersebut akan menjadikan suatu kebiasaan anak mencuci tangan sebelum makan tanpa disuruh oleh orang tua atau siapapun.
Pada gambar 4.6 menunjukkan lebih dari sebagian (56%) berumur 4 tahun, merupakan masa sekolah anak dimana anak mulai tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia. Pada usia ini kehadiran orang tua sangat diperlukan terutama memperhatikan prilaku anak sebelum makan. Bahkan terkadang mereka minta perhatian lebih besar dari orang tua dan meminta orang tua untuk selalu menemani. Peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan sangatlah penting karena orang tua merupakan orang pertama yang dipercaya oleh anak dalam segala hal. Pada masa ini dorongan dari orang tua sangat diperlukan agar anak dapat berinteraksi sosial dengan lingkungan sehingga anak tidak selamanya harus tergantung penuh pada orang tua (A. Aziz Alimul Hidayat).
Pada gambar 4.7 menggambarkan bahwa lebih dari sebagian (56%) anak kelas 1 berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan. Bahwa anak perempuan cenderung lebih disiplin, bersih, rapi dan penurut. Sehingga sangat mudah untuk memberi nasehat tentang pentingnya suatu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Dengan demikian suatu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan akan menjadi suatu kebiasaan lebih, oleh anak perempuan dibandingkan anak laki-laki (A. Aziz. Alimul Hidayat). 
Selain uraian di atas kenyataan peran orang tua yang cukup, juga disebabkan berbagai keadaan yang termasuk dalam keterbatasan peneliti dan instrumen dari penelitian yang belum pernah diuji cobakan terlebih dahulu. Dan juga terbatasnya tempat penelitian yang hanya dilakukan di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya, sehingga hasilnya kurang valid dan respresentatif. 

                                                                  BAB V
                                                  KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya maka peneliti dapat mengambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :
5.1Kesimpulan
Peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya mayoritas baik (88,9%).

5.2Saran
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut :
5.2.1Bagi Orang Tua
Setiap orang tua hendaknya tetap mempertahankan bahkan meningkatkan perannya dalam mengajarkan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, baik di rumah maupun di sekolah.
5.2.2Bagi Guru
Bagi guru hendaknya memberikan penjelasan tentang pentingnya mencuci tangan sebelum makan kepada anak, termasuk pengawasan saat jam istirahat (anak jajan di sekolah).
5.2.3Bagi Peneliti Berikutnya
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang gambaran peran orang tua dalam kegiatan mencuci tangan sebelum makan pada anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya I menggunakan kuesioner yang telah diujicobakan dan jumlah sampel yang lebih besar.


DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz Alimul tiidayat, (2005), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, Jakarta Salemba Medika
Burhanuddin Salam, (2000), Etika Individual, Jakarta: Rineka Cipta.
Julif, D.B. (1994), Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Jakarta: Bumi Aksara.
Kartini Kartono, (1999), Psikologi Wanita (Psikologi Perkembangan), Bandung:Mandar Maju.
Kartini Kartono, (1999), Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung:Mandar Maju.
M.Djawad Dahlan, (2000), Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: EGC.
Markum, A.H. (1996) 11mu Kesehatan Anak, Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad Muhydin, (2003), Eijak Pendidikan Anak dan Cerdas Memahami Orang Tua, Jakarta: Lentera. -
Nasrul Effendi, (1998), Dasar-Dasar Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC.
Soekidjo Notoatmodjo, (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta PT. Rineka Cipta.
_______, (2005), Metodologi Penelitihan Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
_______, (2002), Metodologi Penelitihan Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nursalam, (2001), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperaswatan Jakarta: Salemba Medika.
_______, (2003), Konsep don Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
Potter Pery (2005), Fundamental of Nursing, Jakarta: EGC.
Sugiyon, (2006), Statistika Untuk Penelitian, Bandung : Alfa Beta.
Yupi Supartini, (2004), Tumbuh Kembang Anak, Jakarta : EGC.




Lampiran 2

FORMULIR PERMOHONAN MENJADI PESERTA PENELITIAN
Gambaran Peran Orang Tua Dalam Kegiatan Mencuci Tangan Sebelum Makan Pada Anak di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya
Kepada Yth :
Bapak / Ibu / Saudara Selaku Perawat
Di Tempat
Saya adalah mahasiswa Akademi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya , mengharap partisipasi Bapak / Ibu dalam penelitian saya yang berjudul ”Gambaran Peran Orang Tua Dalam Kegiatan Mencuci Tangan Sebelum Makan Pada Anak usia 3 – 4 tahun di TK ST Aisyiyah Bustanul Akhfa 23 jln. Mojo Kidul No 3 Surabaya”.
Dan juga mengharapkan tanggapan dan jawaban yang diberikan sesuai dengan kebenaran dan kenyataan yang Bapak atau Ibu lakukan dalam penelitian ini. Saya menjamin kerahasiaan jawaban dan identitas Bapak atau Ibu atas informasi yang Bapak atau Ibu berikan hanya untuk pengembangan ilmu keperawatan.
Tanda tangan di bawah ini menunjukkan Bapak atau Ibu telah diberi informasi dan memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.



Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN 

” GAMBARAN PERAN ORANG TUA DALAM KEGIATAN MENCUCI TANGAN SEBELUM MAKAN PADA ANAK USIA 3 – 4 TAHUN di TK ST AISYIYAH BUSTANUL AKHFA 23 JLN. MOJO KIDUL NO 3 SURABAYA”


                                                                                                                Oleh :



                                                                               ZUL ADHARIANSYAH 
                                                                                NIM. 06.610.114.078

Setelah saya membaca maksud dan tujuan dari penelitian ini,maka saya dengan sadar menyatakan bahwa saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, tanda tangan saya dibawah ini sebagai bukti kesediaan saya menjadi responden penelitian.


                                               


27 April 2009

FRAKTUR PENIS

 (EVALUASI KASUS)




PENDAHULUAN

Fraktur penis merupakan darurat urologi yang jarang terjadi1, pertama kali dilaporkan pada tahun 19242, sebanyak 183 laporan telah dipublikasikan dengan 1331 kasus sejak tahun 1935 sampai dengan tahun 20013.

Fraktur penis adalah ruptur satu atau kedua korpus kavernosum penis dengan atau tanpa korpus spongiosum karena trauma tumpul pada penis yang ereksi.4,5 Penyebab tersering adalah trauma saat koitus1,4, penyebab lainnya adalah masturbasi, manipulasi penis nokturnal yang tidak disadari atau untuk mengurangi ereksi6, jatuh dengan penis ereksi terbentur benda tumpul, atau penis yang terjepit pada celana yang ketat2,7. Kebanyakan (75 %) terjadi pada satu sisi, 25 % pada kedua sisi, dan 10 % dari keduanya melibatkan uretra4,8.

Pada saat ereksi aliran darah arteri ke penis menyebabkan korpus kavernosum dan spongiosum membesar ke arah longitudinal dan transversal sehingga penis menjadi keras dan mobilitasnya berkurang, tunika albuginea lebih tipis dari 2 mm mencapai 0,5 – 0,25 mm sehingga mudah robek jika ada trauma8,9. Penis akan bengkak, hematom, terasa nyeri, dan bengkok ke arah yang berlawanan dari sisi fraktur10. Hematom biasanya terbatas sampai fasia Buck’s, jika fasia Buck’s ikut terlibat maka hematom dapat sampai ke skrotum, perineum anterior, dan dinding abdomen bagian bawah11.

Umumnya penderita mengeluh fraktur penis akibat koitus dengan posisi pasangan di atas tubuh mengangkangi penis7,8. Saat koitus penis keluar dari vagina dan saat akan dimasukkan kembali penis membentur pubis atau perineum7. Semua penderita melaporkan adanya bunyi retak yang khas (“Cracking sound”) diikuti dengan hilangnya ereksi, nyeri hebat, penis udem dan berubah warna, serta terjadi perubahan bentuk penis11,12.

Sebelum tahun 1971, terapi pada fraktur penis dilakukan dengan konservatif yaitu dengan bidai penis, kompres es, ensim streptokinase untuk mencegah udem, sedatif dan estrogen untuk mencegah ereksi2,4. Terapi ini perlahan berubah sejak 1986, 80 % penderita fraktur penis dilakukan tindakan pembedahan10

Tindakan bedah pada fraktur penis dilakukan untuk mencegah komplikasi, yaitu : disfungsi ereksi, abses penis, nodul pada sisi ruptur, kurvatura penis permanen, nyeri pada saat ereksi, fistula corpouretral, fistula arteriovenosa, dan terbentuknya plak fibrotik4. Tiga jenis insisi yang dilakukan pada tindakan bedah yaitu : insisi langsung di atas defek, insisi circumscribing-degloving, dan insisi inguinal skrotal7.


BAHAN & CARA

Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dengan diagnosa klinik fraktur penis dirawat di unit gawat darurat Rumah Sakit Akademis. Karakteristik penderita dicatat, umur, status pernikahan, aktivitas yang menyebabkan trauma, keluhan yang dirasakan oleh penderita, dan waktu kejadian pada saat trauma hingga tiba di rumah sakit.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik (gambar 1), pemeriksaan tambahan darah rutin untuk persiapan operasi, serta pemeriksaan urinalisis.

Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea korpus kavernosum (gambar 2) dan korpus spongiuosum. Untuk menghindari kerusakan uretra pada saat eksplorasi, kateter 18 F dipasang sebelum operasi dan dilepas 3 hari setelah operasi. Penderita dipulangkan pada hari kelima.




Gambar 1. Fraktur penis











Robekan dijahit dengan vicryl 3-0 secara terputus (gambar 3) , dan kulit ditutup secara primer tanpa menggunakan drain dengan “Chromic Catgut” 3-0 secara terputus (gambar 4). Setelah itu dilakukan bebat tekan pada penis. Antibiotik perioperatif dengan cephalosporin generasi 3, dan diasepam untuk mencegah ereksi


HASIL

Tiga kasus fraktur penis antara Desember 2002 hingga Januari 2005, 2 kasus disebabkan trauma saat koitus dan 1 kasus karena manipulasi pada penis. Dari 2 kasus trauma saat koitus, 1 penderita dengan posisi di atas pasangannya dan 1 penderita dengan posisi di bawah pasangannya. Umur penderita antara 35 – 41 tahun (rata – rata 38 tahun) dan ketiga penderita telah menikah. Waktu kejadian hingga tiba dirumah sakit antara 2 – 72 jam (rata – rata 37 jam).

Semua penderita mendengar bunyi khas (cracking sound), yang dikuti dengan nyeri hebat, hilangnya ereksi, udem, hematom, dan penis yang membengkok. Tidak ada darah yang keluar dari orifisium uretra eksterna, dan tidak ada gangguan buang air kecil.

Dari pemeriksaan fisik, dua penderita mengalami fraktur pada sisi kanan, dan satu pada sisi kiri. Hal ini dilihat dari deviasi penis ke arah yang berlawanan. Pada saat eksplorasi ditemukan robekan pada korpus kavernosum kanan pada 2 pasien dan korpus kavernosum kiri 1 pasien. Dua penderita dengan robekan pada mid-shaft, dan 1 pada proksimal penis. Ditemukan juga robekan pada korpus spongiosum pada dua penderita tetapi tidak sampai merobek mukosa uretra.

Tabel 1. Kriteria penderita dan gejala klinik
Kriteria pasien
Kasus

Umur (tahun)
30 – 39
40 – 49

Status pernikahan
Menikah
Belum menikah


Gejala klinik
Cracking sound
Nyeri
Ereksi yang hilang
Udem dan hematom


Tabel 2. Temuan pada saat operasi

Penemuan
Kasus

Robekan korpus kavernosum
Kanan
Kiri

Letak
Proksimal
Mid-Shaft
Distal

Robekan korpus spongiosum

Tidak ditemukan adanya komplikasi post operasi pada ketiga penderita, kateter uretra dilepas pada hari ketiga dan penderita dapat miksi dengan normal. Penderita dipulangkan pada hari kelima post operasi. Follow up enam minggu setelah operasi, tidak ada deformitas pada penis, ereksi penis lurus, dan dapat koitus tanpa rasa nyeri.


DISKUSI

Dari hasil laporan kami memperlihatkan, fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Umur penderita pada laporan ini rata – rata 38 tahun, diliteratur dikatakan berkisar 26 – 41 tahun (Dikutip dari El Fadil et.al6).

Sebagian besar kasus, 2 dari 3 (66%) kasus penyebabnya trauma saat koitus. Dincel et.al.3 melaporkan 72,7% kasus, De Stefani et.al5 melaporkan 62,5% kasus, El Fadil et.al6 melaporkan 57 % kasus disebabkan trauma saat koitus. Tetapi Al Saleh BMS et.al.11 melaporkan hanya 22,2% yang disebabkan trauma saat koitus, sebagian besar 66,6% disebabkan manipulasi pada penis yang ereksi.

Umumnya trauma saat koitus terjadi pada saat penderita berada di bawah pasangannya, pada saat penis keluar dan akan dimasukkan kembali ke vagina, penis membentur pubis atau perineum7.

Walaupun diagnosis fraktur penis mudah ditegakkan secara klinis, tetapi penatalaksanaannya masih kontroversial. Belum ada penelitian jangka panjang yang membandingkan efektifitas antara terapi operatif dan konservatif3. Jallu et.al9 melaporkan 4 kasus fraktur penis yang berhasil baik dengan pengobatan konservatif berupa Oxyphenbutazone 3 x 200 mg dan diazepam oral 3 x 10 mg sehari selama 2 – 3 minggu. Tetapi banyak penulis yang menganjurkan untuk melakukan tindakan eksplorasi segera1,3,6,8,11.

Terapi konservatif memberikan 29 % komplikasi yaitu adanya bekuan darah, curvatura pada penis, infeksi, abses penis, ekstravasasi urin yang persisten, dan nyeri pada saat ereksi2,3,5,8. Lama tinggal di rumah sakit sekitar 14 hari dibandingkan terapi operatif yang rata – rata 6,6 hari.3 Pada 3 kasus kami semuanya dilakukan tindakan operasi dan tidak didapatkan komplikasi yang signifikan, dan lama perawatan di rumah sakit 5 hari.

Preoperatif cavernosografy dianjurkan oleh beberapa penulis untuk melihat sisi yang robek dan merencanakan tindakan operasi2,3,10. Kebanyakan pemeriksaan cavernosografy dilakukan jika hasil fisis diagnostik meragukan, sedangkan anamnesis ada indikasi kemungkinan cedera corpus cavernosum5,7. Semua kasus kami segera dilakukan tindakan operasi eksplorasi berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang jelas tanpa melakukan pemeriksaan kavernosografy.

Cedera pada uretra akibat fraktur penis dilaporkan sekitar 0 – 3% di Asia, 20 – 38 % di AS dan Eropa2. Uretrografy Retrogade dilakukan jika ada kecurigaan cedera pada uretra dengan ditemukan gangguan berkemih, hematuri atau adanya darah pada orifisium uretra eksterna.

Pemasangan kateter preoperatif masih kontroversial, ada yang menyarankan sebagai suatu tindakan rutin setelah pada pemeriksaan fisis tidak ada tanda – tanda cedera uretra6. Pemasangan kateter memudahkan diseksi intraoperatif tanpa mencederai uretra dan mencegah kontaminasi luka post operasi5,7. Pada kasus kami kateter dilepas 3 hari post operatif. Perioperatif diberikan antibiotik profilaksis Cephalosporin generasi ketiga.

Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea. Robekan di jahit dengan Vicryl 3-0 secara interuptus, kulit dijahit dengan “chromic catgut” 3-0 secara interuptus.

Semua penderita dirawat selama 5 hari dalam keadaan baik. Follow up sampai 6 minggu, tidak ada deformitas penis, penis dapat ereksi dengan lurus tanpa rasa nyeri dan coitus dapat dilakukan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kolfman L, Cavalcanti AG, Manes CH, Filho DR, Favorito LA. Penile Fracture – Experience in 56 Cases. International Braz.J.Urol. 2003.29(1):35–39.

2. Jack GS, Garraway I, Reznichek R, Rajfer J. Current Treatment Options for Penile Fractures. Reviews in Urology. 2004. 6(3):115-20.

3. Dincel C, Cascurlu T, Resim S, Bayraktar Z, Tasci A, Sevin G. Fracture of the Penis. Eastern Journal of Medicine. 1998.3 (1) : 17 – 19.

4. Palinrungi AM. Fracture of the Penis : A Case Report. J.Med.Nus. 2002. 23(1):560–63, .

5. El Malik EFMA, Ghali AM, Ibrahim AIA, Rashid M. Fracture of the Penis : A Critique of Clinical Features and Management. http://www.kfshrc.edu.sa/annals/175/96-268.html. 01/09/2003

6. DE Stefani S, Stubinski R, Ferneti F, Simonato A, Cermignani G. Penile Fracture and Associated Urethral Injury. http://www.duj.com/article/De_Stefani2.html 21/03/2005

7. Choe JM, Heiland M, Ghoniem GM, Talevarea F, Morey FA, Wolf JS, Leslie SW (Edits).Penile Fracture and Trauma http://www.emedicine.com/med/topic3415htm 12/28/2002.

1.8. Penis Fracture. Http://www.herbolove.com/library/resource/fracture/ov.asp 01/06/2003

9. Jallu A, Wani NA, Rashid PA. Fracture of the Penis. Br.J.Urol, 1980.123:285–6.

10. Lehman E, Kremer S. Fracture of the Penis. Surgery Gyn&Obs.1990.171:148–50..

11. Al Saleh BMS, Ansari ER, Al Ali IH, Tell JY, Saheb A. Fractures of the Penis seen in Abu Dhabi. J.Urol. 1985.134:274-5.

12. Philip T, Collin J. The Fractured Shaft-an unusual penile injury. Br.J.Surg. 1983. 70:93.







ABSTRAK

Pendahuluan : Fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Penyebab tersering trauma saat koitus. Kami laporkan 3 kasus dengan tindakan operasi.

Bahan dan Cara : Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dilakukan operasi darurat setelah mengalami fraktur penis. Dilakukan eksplorasi dengan circumscribbing incision, debridemand, dan penjahitan primer robekan tunika albuginea.

Hasil : Umur rata – rata penderita 38 tahun ( 35 - 41 tahun), Fraktur penis karena trauma saat koitus 2 penderita, manipulasi penis saat ereksi 1 penderita. Lama perawatan 5 hari dengan pemasangan kateter hingga 3 hari post operasi. Tidak ditemukan komplikasi post operasi, 6 minggu setelah operasi penderita dapat ereksi dengan lurus dan melakukan koitus tanpa rasa nyeri.

Kesimpulan : Fraktur penis didiagnosis secara klinis, terapi operatif menghindari komplikasi dan mengembalikan fungsi penis kembali normal.

TUMOR WILMS

Sejarah

Deskripsi patologi mengenai tumor Wilms pertama kali ditulis pada tahun 1872 dan dideskripsikan oleh Osler pada tahun 1879. Osler menemukan bahwa tumor ginjal pada anak-anak yang dilaporkan oleh beberapa klinisi saat itu sebenarnya merupakan kelainan yang sama. Pada tahun 1899, Wilms melaporkan 7 kasus yang dijumpainya dan melakukan tinjauan literatur pada kongres di Berlin. Penjelasannya mengenai gambaran klinis penyakit ini sangat jelas sehingga istilah tumor yang memakai namanya ini (tumor Wilms) lebih populer digunakan daripada nefroblastoma hingga sekarang. Eksisi bedah merupakan pilihan terapi satu-satunya hingga tahun 1915, ketika Friedlander memperkenalkan terapi radiasi sebagai altenatif pilihan. Ladd dan White kemudian secara bertahap menyempurkan teknik bedah dan meningkatkan survival hingga 20%. Kemoterapi dengan aktinomisin-D dimulai tahun 1954 dan vinkristin ditambahkan pada tahu 1963. Pada tahun 1956, Farber dengan menggunakan kombinasi eksisi bedah, radiasi pascaoperasi, dan kemoterapi memulai era modern dengan angka survival selama 2 tahun mencapai 81%.

Pada tahun 1969, karena kasus tumor Wilms di Amerika Serikat berkisar antara 450-500 pertahun, timbul upaya kolaborasi untuk mendapatkan jumlah pasien yang bermakna secara statistik. Karenanya, Children's Cancer Study Group, Cancer and Leukemia Group B dan Southwest Oncology Group bergabung membentuk National Wilms Tumor Study Group (NWTS). Kolaborasi ini menghasilkan peningkatan survival yang sangat bermakna.


Insidens

Tumor Wilms merupakan tumor ganas intraabdomen yang tersering pada anak-anak. Di Amerika Serikat, penyakit ini dialami oleh lebih dari 400 penderita tiap tahunnya. Usia tersering adalah 3,5 tahun.

Tumor Wilms terjadi secara sporadik (95%), familial (1-2%), atau berkaitan dengan suatu sindrom (2%). Sindrom yang berkaitan dengan tumor Wilms adalah WAGR (Wilms, aniridia, malformasi traktus genitourinarius, dan retardasi mental), sindrom Beckwith-Widemann (gigantisme, makroglosia, hiperplasia sel pankreas) dan sindrom Denys-Drash (pseudohermafrodit, nefropati, dan tumor Wilms). Kejadiannya cenderung timbul pada pasien yang lebih muda. Tumor Wilms sporadik berkaitan dengan 10% kasus dengan hemihipertrofi yang terisolasi atau malformasi genitourinarius seperti hipospadia, kriptorkismus, dan fusi ginjal. Tumor ginjal sinkronous yang bilateral ditemukan pada 5-10% kasus. Skrining rutin dengan USG setiap 6 bulan hingga usia 8 tahun direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi terhadap timbulnya tumor Wilm.


Kejadian Tumor Wilms dan Genetika

Awalnya diperkirakan, tumor Wilms terjadi akibat kejadian genetik yang sesuai dengan teori two hit model yang pertama dikembangkan pada retinoblastoma. Jika mutasi pertama terjadi sebelum penggabungan sperma dan sel telur (mutasi konstitusional/ germline), tumor diturunkan dan individu tersebut mendapat risiko mengalami multipel tumor. Tumor Wilms nonherediter terjadi akibat dua mutasi postzigot (somatik) pada sel tunggal. Hipotesis two hit model memperkirakan bahwa pasien dengan individu yang rentan, seperti kasus familial, pasien dengan penyakit yang multifokal, dan dengan kelainan anomali mempunyai usia median yang lebih rendah dibandingkan kasus sporadik. Saat ini, diketahui bahwa mutasi beberapa gen terlibat dalam patogenesis tumor Wilms.

Hilangnya seluruh bagian dari kromosom disebut loss of heterozygosity (LOH), suatu mekanisme yang diduga menginaktivasi gen supresor tumor. Dari 50% kasus tumor Wilms, dapat ditemukan adanya LOH pada dua lokus genetik: 11p13 dan 11p15. Tumor Wilms terjadi pada 30% pasien dengan sindrom WAGR. Anak dengan sindrom WAGR memperlihatkan delesi pada lengan pendek kromosom 11 band 13 (11p13) namun daerah 11p15nya normal. Hingga sepertiga tumor Wilms yang sporadik, terjadi perubahan pada bagian distal kromosom 11, yang melibatkan band p13. Tempat delesi ini diberi nama gen WT1, suatu gen supresor tumor yang juga membentuk kompleks dengan supresor tumor lainnya, yaitu p53. Gen WT1 mengekspresikan pengaturan faktor transkripsi dari suatu protein yang terbatas pada sistem genitourinarius, limpa, mesenterium dorsal dari usus, otot, susunan saraf pusat, dan mesotelium. WT1 mengalami delesi pada semua kasus WAGR. Hubungan penting antara mutasi WT1 dan WAGR dengan berhentinya nefrogenik intralobuler menyebabkan dugaan bahwa ekspresi WT1 dibutuhkan untuk diferensiasi normal dari nefroblas. Hanya 5-10% tumor Wilms yang sporadik menunjukkan adanya mutasi WT1. Inaktivasi WT1 hanya mempengaruhi organ yang mengekspresikan gen ini, seperti ginjal dan sel-sel gonad tertentu (sel Sertoli testis dan sel granulosa ovarium). WT1 juga ditemukan sebagai penyebab sindrom Denys-Drash. Kebanyakan mutasi yang ditemukan pada pasien DDS merupakan mutasi missense yang dominan.

Sebagian dari penderita BWS mengalami duplikasi atau delesi dari 11p15. Daerah ini dinamai WT2 dan merupakan telomerik dari WT1. BWS juga berkaitan dengan IGF-2, suatu gen yang menginduksi pertumbuhan embrional. Hal ini membuktikan kemungkinan adanya dua lokus yang berbeda terlibat dalam pembentukan tumor. Kandidat gen lain adalah gen insulin-like growth factor II (IGFII), dan gen tumor supresor H19. Fraksi penting dari tumor Wilms (tanpa terjadinya LOH pada tingkat DNA) telah ditemukan mempengaruhi cetakan dengan akibat ekspresi yang berlebihan dari IGFII dan hilangnya ekspresi supresor tumor H19. IGFII kemungkinan bekerja seperti onkogen dengan perpetuating nefroblas dan mungkin menyebabkan berhentinya perilobar yang diobservasi pada BWS.

Sebuah bentuk gen familial tumor (FWT1) juga telah diidentifikasi pada kromosom 17q dan juga kromosom 7p dapat sebagai gen predisposisi tumor setelah ditemukannya translokasi konstitusional. Mutasi pada p53 berkaitan dengan progresi tumor, anaplasia, dan prognosis yang jelek. Kebanyakan tumor Wilm kemungkinan disebabkan oleh mutasi somatik pada satu atau lebih dari gen-gen tumor yang telah teridenfikasi tersebut.

Beberapa tempat kromosom juga telah diidentifikasi berperan dalam perkembangan tumor. LOH pada kromosom 16q dan 1p menunjukkan progresivitas dan agresivitas pada 20% penderita tumor Wilms. Angka kekambuhan tumor Wilms 3 kali dan angka mortalitasnya 12 kali lebih tinggi dari penderita tumor Wilms tanpa LOH pada kromosom 1p. p53 juga berkaitan dengan histologi anaplastik yang unfavourable.

Pasien dengan tumor Wilms dan kandungan DNA yang diploid (mengindikasikan proliferasi yang rendah) ditemukan mempunyai prognosis yang baik. Hiperploidi (aktivitas mitotik yang tinggi) merupakan gambaran prosnostik yang buruk untuk tumor Wilms.

Sisa nefrogenik merupakan lesi prekursor bagi tumor Wilms. Ada dua tipe yang dikenal: perilobar nephrogenic rest (PLNR) yang terbatas di lobus perifer dan intralobar nephrogenic rest (ILNR) yang terdapat di dalam lobus, sinus renal, atau dinding sistem pelviokalises. Hubungan yang erat antara ILNR, aniridia, dan sindrom Denys Dash di mana gen WT1 terlibat, mengimplikasikan pendapat bahwa lokus ini mungkin berhubungan dengan patogenesis ILNR. Demikian pula, hubungan antara BWS dan beberapa kasus hemihipertrofi dengan kelainan lokus yang lebih jauh pada kromosom 11 meningkatkan kemungkinan bahwa gen WT2 mungkin lebih erat hubungannya dengan PLNR. Keuntungan uji genetik pada anak dengan sporadik aniridia, hemihipertrofi atau sindrom-sindrom di atas yang berisiko tinggi mengalami tumor Wilms dapat menjalani skrining DNA. Hal ini akan mengidentifikasi mereka yang mengalami mutasi dan memerlukan observasi yang ketat terhadap pertumbuhan tumor.


Gambaran Klinis

Gambaran klinis tumor Wilms berupa massa besar intraabdomen atau di pinggang yang asimptomatik dan seringkali ditemukan secara kebetulan oleh keluarga. Kadang kala temuan ini disertai rasa nyeri, hematuria asimptomatik (pada sepertiga kasus), dan demam. Gambaran klinis lainnya berupa malaise, penurunan berat badan, anemia, varikokel kiri (akibat obstruksi vena renalis kiri), dan hipertensi. Trombus tumor dapat meluas ke vena cava inferior dan jantung sehingga menimbulkan malfungsi jantung. Kadang-kadang, terjadi gejala akut abdomen akibat ruptur tumor setelah suatu trauma minor.

Pemeriksaan fisik meliputi palpasi abdomen yang cermat dan pengukuran tekanan darah pada keempat ektremitas. Tumor dapat memproduksi renin atau menyebabkan kompresi vaskuler sehingga mengakibatkan hipertensi. Deskripsi yang rinci mengenai kelainan traktus urinarius dan adanya aniridia atau hemihipertrofi juga perlu dicari.

Tidak ada tes darah atau urin yang merupakan alat diagnostik untuk tumor Wilms. Laporan terakhir menyebutkan peningkatan bFGF pada urin berkaitan dengan kelainan ini. Jika faktor ini muncul, peningkatan yang menetap setelah reseksi tumor mengindikasikan adanya persistensi atau rekurensi penyakit. Derajat peningkatan juga berkaitan dengan prognosis.

Evaluasi awal terdiri dari pemeriksaan foto polos abdomen, ultrasonografi, IVP, urinalisis, foto toraks, dan CT scan. Keberadaan massa intrarenal yang padat menyebabkan distorsi sistem pelviokalises sangat membantu dalam diagnosis tumor Wilms. USG atau MRI vena renalis dan vena cava inferior dapat menyingkirkan adanya penyebaran tumor ke dalam vena. Metastasis tersering dijumpai pada paru-paru dan hepar.


Patologi

Komponen klasik dari tumor Wilms terdiri dari tiga komponen yang tampak pada diferensiasi ginjal normal: blastema, tubulus,dan stroma. Terdapat gambaran yang heterogen dari proporsi komponen tersebut dan juga adanya diferensiasi yang aberan, seperti jaringan lemak, otot lurik, kartilago, dan tulang. Adanya gambaran komponen yang monofasik juga ditemukan. Tumor ginjal lain yang ditemukan pada anak berupa mesoblastik nefroma, clear cell sarkoma, dan renal rhabdoid tumor dapat membingungkan.

Gambaran anaplasia merupakan indikator penting dalam prognosis tumor Wilms. Gambaran anaplastik ditandai oleh pembesaran inti sel 2-3 kali lipat, hiperkromatisasi, dan gambaran mitosis yang abnormal.







Staging

Staging berdasarkan NWTSG V, terdiri dari:

Stadium I:

Tumor terbatas pada ginjal dan dapat direseksi secara lengkap dengan kapsul ginjal yang utuh. Tidak terjadi ruptur atau robekan kapsul. Pembuluh darah sinus renal tidak terlibat


Stadium II:

Tumor sudah melewati kapsul ginjal namun dapat dieksisi secara lengkap. Terdapat ekstensi regional tumor yang dibuktikan dengan penetrasi kapsul atau dengan invasi ekstensif sinus renal. Pembuluh darah di luar sinus renal dapat mengandung tumor. Tumor mengalami cedera akibat biopsi atau tercecer terbatas di daerah flank. Tidak ada bukti tumor pada atau di luar batas reseksi.


Stadium III:

Terdapat sisa tumor nonhematogen yang terbatas pada abdomen, atau yang meliputi berikut ini:

a. Keterlibatan kelenjar getah bening pada hilus atau pelvis

b. Penetrasi tumor melalui permukaan peritoneum

c. Implan tumor pada permukaan peritoneum

d. Tumor gross atau mikroskopik pada atau di luar batas reseksi bedah

e. Tumor tidak dapat direseksi secara lengkap karena infiltrasi lokal ke dalam struktur vital

f. Tumor menyebar tidak terbatas pada daerah flank


Stadium IV:

Metastasis hematogen ke paru-paru, hepar, tulang atau otak atau metastasis ke kelenkar getah bening di luar abdomen dan pelvis. Nodul paru tampak pada CT scan harus dibiopsi untuk diagnosis definitif stadium IV.


Stadium V:

Keterlibatan kedua ginjal pada diagnosis. Setiap sisi harus didiagnosis secara individu menurut kriteria di atas.


Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan tindakan untuk terapi sekaligus penentuan stadium tumor. Berdasarkan rekomendasi NWTSG, nefrektomi primer dikerjakan pada semua keadaan kecuali pada tumor unilateral yang unresectable, tumor bilateral dan tumor yang sudah berekstensi ke vena cava inferior di atas vena hepatika. Tumor yang unresectable dinilai intraoperatif. Diberikan kemoterapi seperti stadium III dan pengangkatan tumor dilakukan setelah 6 minggu. Pada tumor bilateral, dilakukan biopsi untuk menentukan jenis tumor dan diberikan kemoterapi biasanya dalam 8-10 minggu. Nefrektomi dilakukan pada kasus tumor bilateral jika diberikan sisa parenkim ginjal setelah reseksi tumor masih lebih dari 2/3. Hal penting dalam pembedahan meliputi insisi transperitoneal, eksplorasi ginjal kontralateral, dilakukan nefrektomi radikal, hindari tumpahan tumor, dan biopsi kelenjar getah bening yang dicurigai.

Terapi lanjutan dengan kemoterapi atau radioterapi tergantung pada hasil staging dan histologi (favourable atau non favourable) dari tumor. Berdasarkan NWTS-5 berikut algoritma pemberian kemoterapi dan radioterapi pada tumor Wilms.

Nefrektomi parsial hanya dianjurkan pada pasien dengan tumor bilateral, solitary kidney, dan insufisiensi renal.

Pada kasus tumor Wilms bilateral yang perlu dilakukan nefrektomi bilateral, transplantasi dilakukan setelah 1 tahun setelah selesai pemberian kemoterapi.

Keberhasilan penanganan tumor Wilms ditentukan dari hasil stratifikasi, registrasi, dan studi NWTSG. Survival bebas penyakit 95% untuk stadium I, dan kira-kira 80% untuk pasien secara keseluruhan. Prognosis buruk dijumpai pada pasien dengan metastasis ke kelenjar getah bening, paru-paru dan hepar.


Komplikasi dan Penatalaksaan Penyakit Lanjut

1. Tumor Bilateral

2. Ekstensi Intracaval dan atrium

3. Tumor lokal yang lanjut

4. Obstruksi usus halus

5. Tumor maligna sekunder

Kanker Testis

 


PENDAHULUAN

Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada pria kelompok usia 15 – 35 tahun. Setiap tahun kira-kira ditemukan 2-3 kasus baru dari 100.000 pria di Amerika Serikat. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis, perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari 50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap pasien.1

Perubahan pada filosofi penatalaksanaan tumor testis ini didasarkan pada penegetahuan mengenai perlunya membuat metoda terapi lapis kedua setelah metode terapi pilihan pertama gagal.1


TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi testis

Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan stroma tempat dimana sel leydig berada.1

Testis normal berukuran rata-rata 4x3x2,5 cm. Organ ini diliputi oleh suatu lapisan yang disebut dengan tunika albuginea, oleh suatu septa-septa jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus. Pada bagian anterior dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut dengan tunika vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal, lapisan ini langsung berhubungan dengan kulit skrotum.4 Di sebelah posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool atas dan bawahnya. Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan lapisan kulit yang tidak rata dimana dibawahnya terdapat suatu lapisan yang disebut tunika dartos yang terdiri dari serabut-serabut otot.3



Peredarahan darah testis memiliki keterkaitan dengan peredarahan darah di ginjal karena asal embriologi kedua organ tersebut. Pembuluh darah arteri ke testis berasal dari aorta yang beranastomosis di funikulus spermatikus dengan arteri dari vasa deferensia yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Aliran darah dari testis kembai ke pleksus pampiniformis di funikulus spermatikus. Pleksus ini di anulus inguinalis interna akan membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan masuk ke dalam vena cava inferior sedangkan vena spermatika kiri akan masuk ke dalam vena renalis kiri.3


Saluran limfe yang berasal dari testis kanan mengalir ke kelenjar getah bening di daerah interaaortacaval, paracaval kanan dan iliaka komunis kanan, sedangkan saluran limfe testis kiri mengalirkan isinya ke kelanjar getah bening paraaorta kiri dan daerah hilus ginjal kiri, paracaval kiri dan iliaka kiri.3



Insidensi

Kanker testis adalah salah satu dari sedikit neoplasma yang dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan penanda tumor ( tumor marker ) pada serum tersangka penderita yaitu pemeriksaan human chorionic gonadotropin (bhCG) dan α-fetoprotein (AFP).1

Insiden kanker testis memperlihatkan angka yang berbeda-beda di tiap negara, begitu pula pada setiap ras dan tingkat sosioekonomi. Di negara skandinavia dilaporkan 6,7 kasus baru dari 100.000 laki-laki tiap tahunnya sedangkan di Jepang didapatkan 0,8 dari 100.000 penduduk laki-laki. Di Amerika Serikat ditemuan 6900 kasus baru kanker testis setiap tahunnya. ( greenlee et all,2000 )

Kemungkinan seorang laki-laki kulit putih untuk terkena kanker testis sepanjang hidupnya di Amerika Serikat adalah 0,2%. Saat ini angka survival pasien dengan tumor testis meningkat, hal ini memperlihatkan perkembangan dan perbaikan dalam pengobatan dengan kombinasi kemoterapi yang efektif. Secara keseluruhan 5-years survival rate mengalami peningkatan dari 78% pada 1974-1976 menjadi 91% pada 1980 – 1985. Puncak insiden kasus tumor testis terjadi pada usia-usia akhir remaja sampai usia awal dewasa ( 20-40 tahun ), pada akhir usia dewasa ( Lebih dari 60 tahun ) dan pada anak ( 0-10 tahun ). Secara keseluruhan insiden tertinggi kasus tumor testis terjadi pada pria dewasa muda, hal ini membuat tumor ini menjadi noeplasma tersering mengenai pria usia 20-34 tahun dan tumor tersring kedua pada pria usia 35-40 tahun di Amerika Serikat dan Inggris Raya.1

Kanker testis sedikt lebih sering terjadi pada testis kanan dibanding testis kiri, ini berhubungan dengan lebih tingginya insidensi kriptoidosme pada testis kanan dibanding testis kiri. Pada tumor primer testis 2-3 % adalah tumor testis bilateral dan kira-kira 50% terjadi pada pria dengan riwayat kriptokidsme unilateral ataupun bilateral. Jika tumor testis sekunder disingkirkan maka insiden tumor testis primer bilateral 1 – 2,8 % dari seluruh kasus tumor sel germinal testis.1Tumor primer testis bilateral dapat terjadi secara berbarengan ataupun tidak, tetapi cenderung memiliki kesamaan jenis histilogisnya. Dari penelitian oleh Bach dkk ( 1983 ) di dapatkan seminoma merupakan tumor primer testis bilateral tersering ( 48 % )1 sedangkan limfoma maligana adalah tumor testis sekunder bilateral tersering.3


Etiologi

Saat ini belum diketahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya tumor testis, adanya faktor bawaan dan didapat merupakan faktor yang dikaitkan dengan penyakit ini dan kriptokidisme merupakan faktor terkuat yang diduga menjadi penyebab kanker testis. Faktor resiko tertinggi terjadinya kanker testis adalah adanya testis intra abdomen yang diakibatkan oleh undescensus testis ( 1 kasus dari 20 kasus undescensus testis ). Sementara itu tindakan orchiopeksi tidak merubah potensi terjadinya keganasan testis pada kasus kriptokidisme.1

Adanya bukti klinis dan eksperimental mendukung faktor konginetal sebagai etiologi dari tumor sel germinal. Dalam perkembangan embriologinya sel germinal primordial mengalami perubahan oleh karena faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses diferensiasinya. Oleh karena adanya kriptokidisme, orchitis, disgenesis gonad, adanya kelaianan herediter ataupun oleh karena paparan bahan kimia yang bersifat karsinogenik maka perkembangan normal sel germianl mengalami hambatan. Secara garis besar 2 faktor yang dianggap menjadi etiologi terjadinya tumor sel germial yaitu : (1) Faktor kongenital, (2) Faktor didapat.1


a. Faktor kongenital

Kriptokidisme

Dari suatu penelitian yang dilakukan Grove ( 1954 ) memperlihatkan bahwa 7-10% pasien dengan tumor testis memiliki riwayat kriptokidisme sebelumnya. Whiteker ( 1970 ) dan Mostofi ( 1973 ) mengemukakan 5 keadaan yang dianggap kriptokidisme menjadi penyebab terjadinya tumor testis yaitu :1

· Morfologi sel germinal yang abnormal.

· Peningkatan temperatur tempat testis berada ( intraabdomen atau spermatic cord ).

· Gangguan aliran darah.

· Kelainan fungsi endokrin.

· Disgenesis kelenjar gonad.

Insiden pasti kasus kriptokidisme belum diketahui, ini dikarenakan seringkali data pasien dengan kriptokidisme bercampur dengan data pasien dengan testis retraktil. Dari suatu penelitian serial oleh Scorer dan Ferrington ( 1971 ) didapatkan hasil kasus kriptokidisme pada neonatus sebesar 4,3%, pada bayi dan anak-anak 0,8% dan pada orang dewasa sebesar 0,7%. Gilbert dan Hamilton ( 1940 ) melaporkan 7000 pasien dengan tumor testis dan mendapatkan 12% ( 840 pasien ) dari mereka memliki riwayat kriptokidisme. Henderson dkk ( 1979 ) menyimpulkan bahwa pria dengan riwayat kriptokidisme memiliki resiko3-14 kali untuk terkena tumor testis dibanding pria tanpa riwayat kriptokidisme. Campbell ( 1942 ) megemukakan penelitiannya bahwa 25% pasien dengan kriptokidisme bilateral dan akhirnya menjadi kanker testis memiliki resiko yang besar untuk terkena tumor sel germinal testis untuk kedua kalinya pada testis sisi yang lain.1

b. Faktor yang didapat

Trauma

Meskipun trauma memiliki andil pada terjadinya teratoma pada unggas akibat zinc-induced atau cooper induced, tapi pada manusia kemungkinan trauma sebagai penyebab terjadinya tumor testis belum secara jelas diketahui.1

Hormon

Terjadinya fluktuasi hormon seks memiliki kontribusi bagi perkembangan tumor testis, ini didasari oleh penelitian pada hewan dan manusia. Pemberian estrogen pada tikus yang sedang hamil menyebabkan tikus tersebut melahirkan anak-anak yang menderita kriptokidisme dan disgenesis kelanjar gonad ( Nomura dan Kanzak,1977 ). Penelitian oleh Cosgrove ( 1977 ) memperlihatkan hal yang sama bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu yang mendapatkan diethylstilbestrol atau kontrasepsi oral menderita kriptokidisme dan disgenesis kelenjar gonad. 1


Atrofi

Terjadinya infeksi bakteri nonspesifik virus mump pada testis diduga menjadi penyebab terjadinya atrofi testis yang potensial menjadi penyebab terjadinya tumor testis. Namun demikian peran atrofi testis sebagai faktor penyebab terjadinya tumr testis masih merupakan spekulasi.1

Terdapat klasifikasi besar yang membagi tumor testis menjadi 2 yaitu :
1. Tumor sel germinal testis, termasuk dalam kelompok ini adalah

seminoma, karsinoma sel embrional, tumor yolk sac, trratoma,

koriokarsinoma dan mixed cell tumor.
2. Tumor non sel germinal testis, meliputi tumor sel leydig, tumor

sel sertoli dan gonadoblastoma.
TUMOR SEL GERMINAL TESTIS
Tumor sel germinal merupakan tumor testis yang paling sering

ditemukan sebagi tumor primer yaitu meliputi kira-kira 90-95 % dari

seluruh tumor primer testis ( seminoma dan non seminoma

) dan sisanya adalah neoplasma non germinal ( tumor sel leydig, tumor sel

sertoli dan gonadoblastoma ).3
Sejumlah sistem klasifikasi dikemukakan untuk membagi tumor sel

germinal testis. Sistem klasifikasi berdasarkan tipe histologi dari tumor

ini adalah sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan.3
Berdasarkan klasifikasi ini tumor sel germinal testis dapat dibagi menjadi

:
• Seminoma
• Non seminoma germ cell tumor ( NSGCT ), termasuk di dalamnya

adalah karsinoma sel embrional, teratoma, koriokarsinoma dan tumor-tumor

campuran ( mixed tumors )

1. Seminoma
Terdapat 3 subtipe gambaran histologis dari tumor jenis ini yaitu :
• Seminoma klasik
Disebut juga dengan typical seminoma. Seminoma jenis ini meliputi sebagian

besar dari seluruh kasus seminoma ( 85%), sering terjadi pada dekade ke 4

kehidupan namun tidak jarang terjadi pada pria usia 40 atau 50 tahunan.

Secara makroskopis tampak nodul berwarna abu-abu yang menyatu dan secara

mikroskopis telihat lapisan yang monoton pada sel besar dengan sitoplasma

yang jernih dengan inti sel padat. Pada 10-15% kasus tampak terlihat

sel-se sinsitioteofoblas dan ini sesuai dengan jumlah kasus seminoma yang

disertai dengan adanya produksi hCG. 1


• Seminoma anaplastik
Meliputi 5-10% seluruh kasus seminoma. Untuk mendiagnosis adanya seminoma

anaplastik secara mikroskopis harus ditemukan 3 atau lebih sel mitosis

perlapang pandang besar dan sel-sel nya memperlihatkan adanya intisel

pleomorfisme dengan derajat yang lebih tinggi dari subtipe seminoma

klasik. Seminoma anapastik cenderung memperlihatkan staging yang lebih

tinggi dari pada subtipe seminoma klasik. Meskipun sangat jarang, seminoma

anaplastik menjadi sangat penting karena 30% pasien yang akhirnya

meninggal karena seminoma adalah dari subtipe anaplastik. Sejumlah tanda

yang menunjukkan bahwa seminoma ini lebih agresif dan lebih memiliki

potensi menyebabkan kematian dari pada jenis klasik. Hal tersebut dapat

dilihat bahwa seminoma jenis ini : (a) Memiliki aktifitas mitotik yang

lebih besar, (2) rate of invasion yang lebih tinggi, (3) rate of metastase

yang tinggi dan (4) Produksi tumor marker terutama hCG yang lebih tinggi.

1
• Seminoma spermatositik
Subtipe ini meliputi 5-10% dari seluruh subtipe seminoma. Secara

mikroskopis tampak variasi ukuran sel dan karakter sel berupa perbedaan

pada kekeruhan sitoplasma sel dan terlihat adanya intisel yang bulat

dengan kromatin yang memadat. Lebih dari setengah pasien dengan seminoma

spermatositik berumur lebih dari 50 tahun. 1


2. Nonseminoma
Terdapat 5 tipe tumor yang merupakan bagian dari tumor sel germinal

nonseminoma, yaitu :

a. Karsinoma sel embrional
Terdapat 2 varian / tipe dari karsinoma sel embrional yaitu :
• Tipe dewasa
Secara histologis memperlihatkan tanda pleomorfisme dan batas sel yang

tidak jelas. Secara makroskopis kemungkinan tampak terlihat adanya

hemoragis yang luas dan jaringan yang nekrotik. 3
• Tipe infantil
Dengan nama lain tumor yolk sac atau tumor sinus endodermal adalah tumor

testis tersering pada bayi dan anak-anak. Jika ditemukan pada usia dewasa

maka kemungkinan merupakan tipe campuran dan sangat mungkin jenis tumor

yang menghasilkan AFP. Secara mikroskopis terlihat adanya sitoplasma yang

mengalami vakuolisasi oleh adanya deposit lemak dan glikogen. Tampak pula

terlihat badan embrioid dan terlihat seperti embrio berusia 1-2 minggu

yang terdiri dari sebuah ruang yang dikelilingi oleh sinsitiotrofoblas dan

sitotrofoblas. 3

b. Teratoma
Tumor ini dapat ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Tumor ini terdiri

lebih dari satu lapisan sel germinal yang bervariasi dalam maturasi dan

diferensiasinya. Secara makroskopis tumor ini tampak berlobus-lobus dan

terdiri dari beragam ukuran kista-kista yang berisi materi gelatin dan

musin.
. Secara mikroskopis, ektoderm mungkin ditunjukkan oleh jaringan neural

dan epitel skuamosa, endoderm oleh saluran cerna, pankreas dan jaringan

Teratoma jenis matur memiliki gambaran struktur yang jinak yang berasal

dari ektoderm, mesoderm dan endoderm, sedangkan teratoma jenis immatur

terdiri dari jaringa primitif yang tidak terdiferensiasi pembentuk sistem

respirasi sedangkan mesoderm ditunjukkan oleh otot polos atau otot lurik,

jaringan kartilago dan tulang. 3
c. Koriokarsinoma
Kasus dengan koriokarsinoma murni adalah kasus yang jarang. Keganasan ini

terlihat sebagai sebuah lesi yang kecil dan biasanya terdapat suatu

pendarahan pada bagian tengahnya. Secara klinis, koriokarsinoma merupakan

keganasan yang agresif karena tumor ini menyebar luas secara hematogen

lebih awal. Sebaliknya sebuah lesi kecil pada testis dapat merupakan suatu

metastase jauh dari keganasan di tempat lain. 3
Gambaran mikroskopis koriokarsinoma Gambaran

miroskopis koriokarsinoma

d. Mixed cell tumor
Yang termasuk dalam tumor jenis mixed cell sebagian besar (25%) adalah

teratokarsinoma yang bercampur dengan teratoma dan karsinoma sel

embrional. Lebih dari 6% dari seluruh tumor testis adalah jenis mixed

cell dengan salah satu komponennya adalah seminoma. Pengobatan untuk

karsinoma mixed cell yang terdiri campuran antara seminoma dan nonseminoma

sama dengan pengobatan untuk tumor nonseminoma saja. 3
e. Karsinoma in situ
Pada sebuah penelitian yang melibatkan 250 pasien dengan tumor testis satu

sisi, Berthelsen dkk (1982) mengemukakan bahwa 13 (5,2%) pasien memiliki

karsinoma in situ pada testis sisi yang lainnya, persentase ini bahkan 2

kali lebih besar daripada persentase kasus kanker testis yang mengenai

kedua testis. Dari 13 kasus itu setelah dilakukan pengamatan selama 3

tahun 2 kasus berkembang menjadi kanker testis yang bersifat invasif. 3



Pola penyebaran tumor
Tumor testis hampir selalu bermetastasis secara limfogen kecuali

koriokarsinoma yang menyebar secara hematogen sejak staging awal. Tumor

testis kanan dapat menyebar ke kelenjar getah bening daerah

interaortocaval yang terletak sejajar dengan hilus ginjal kanan,

selanjutnya tumor akan menyebar ke daerah precaval, preaorta, paracaval,

iliaka komunis kanan dan kelenjar getah bening iliaka eksterna kanan.

Tempat yang menjadi daerah penyebaran tumor testis kiri adalah paraaorta

yang sejajar dengan daerah hilus ginjal kiri, selanjutnya tumor akan

menyebar ke kelenjar getah bening preaorta, iliaka komunis kiri dan iliaka

eksterna kiri.
Dari sebuah pengamatan oleh Donahue, Zachary dan Magnard ( 1982 )

memperlihatkan bahwa tumor testis kiri tidak pernah bermetastase ke

kelenjar getah bening di sisi kanan, sedangkan tumor testis kanan

seringkali bermetastasis ke kelenjar getah bening pada sisi

kiri.Terjadinya penyebaran ke kelenjar getah bening di iliaka eksterna

distal dan obturator oleh karena invasi tumor ke epididimis dan funikulus

spermatikus sedangkan penyebaran ke kelenjar getah bening inguinal

disebabkan terjadi invasi tumor ke tunika albuginea dan ke kulit skrotum.
Tempat yang paling sering menjadi lokasi penyebaran tumor testis

adalah daerah retroperitoneal, tempat lainnya yang juga menjadi lokasi

penyebaran tumor testis adalah paru-paru, hepar, otak, tulang, ginjal,

kelenjar adrenal, gastrointestinal dan limpa. 3

Gejala dan tanda
Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan kanker testis

adalah pembesaran testis yang berlangsung gradual yang tidak disertai

dengan rasa nyeri. Penegakkan diagnnosis kanker testis diperlukan untuk

memutuskan dilakukan terapi definitif ( orchidectomy ) dan sering kali

pasien mengalami keterlambatan penegakkan diagnosis ( biasanya 3 – 6 bulan

) dan ini berkaitan dengan insiden terjadinya metastase tumor. Adanya

gejala nyeri akut pada testis ditemukan pada 10% kasus dan mungkin

berhubungan dengan pendarahan intratestikuler atau oleh adanya proses

iskemia/infark. 3
Kira-kira 10% pasien mengeluh oleh suatu gejala yang diakibatkan

penyebaran/metastase tumor. Keluhan nyeri punggung adalah keluhan tesering

yang dirasakan penderita, keluhan ini akibat penyebaran tumor ke

retroperitoneal. Gejala lain adalah batuk atau sesak yang disebabkan

metastase ke paru, anoreksia,mual dan muntah ( penyebaran ke

retroduodenal ) nyeri tulang ( metastease ke tulang ) dan pembengkakan

pada ekstremitas inferior ( oleh karena obstruksi vena cava ) dan mungkin

saja ditemukan massa di daerah leher ( metastase ke kelenjar getah bening

supraclavicula ). Seringkali kelainan ini ditemukan secara tidak sengaja

karena tidak ada keluhan apapun. 3
Pada pemeriksaan fisik dengan melakukan pemeriksaaan bimanual

ditemukannya masa atau pembesaran yang menyeluruh pada testis adalah tanda

utama pada banyak kasus. Masa biasanya keras dan tidak menimbulkan nyeri

tekan dan dapat dengan mudah dipisahkan dari epididimis. Seringkali tanda

ini dikaburkan oleh adanya hidrocelle tapi dapat diatasi dengan

pemeriksaan transluminasi pada skrotum.
Pemeriksaaan pada abdomen dapat ditemukan masa yang besar di

daerah retroperitoneal. Perlu juga dilakukan pemeriksaan pada daerah

supraclavucula, axilla dan inguinal. Pada 5% kasus tumor sel germinal

ditemukan ginekomastia tapi akan lebih besar pada pasien tumor sel leydig

dan tumor sertoli ( 30-50% ), hal ini kemungkinan berkaitan dengan

interaksi yang kompleks antara hormon testosteron, estrogen, estradiol,

prolaktin, human chorionic somatomammotropin dan hCG. 3 Terjadinya

ginekomastia dapat disebabkan atau juga tidak disebabkan oleh

hormon-hormon tersebut. Hubungan antara ginekomastia morfologi tumor

primer dan kelainan endokrin masih belum sempurna dapat diterangkan

Pemeriksaan laboratorium
Sejumlah penanda biokomia sangat diperlukan untuk mendiagnosis dan

penatalaksanaan karsinoma testis yaitu α-fetoprotein ( AFP ), human

chorionic gonadotropin ( hCG ), dan lactic acid dehydrogenase ( LDH ). 3
Alfa fetoprotein adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 70.000

dalton dan waktu paruh 4-6 hari, ditemukan pada bayi usia kurang dari 1

tahun, meningkat dengan kadar yang bervariasi pada pasien dengan non

seminoma germ cell tumor ( NSGCT ) dan tidak pernah ditemukan pada kasus

seminoma.. Human chorionic gonadotropin adalah suatu glikoprotein dengan

berat molekul 38.000 dalton, waktu paruhnya 24 jam. Pada orang normal

hormon ini secar signifikan tidak dianggap ada namun meningkat pada pasien

dengan NSGCT dan dapat meningkat pada pasien seminoma ( 7 % ). Lactic acid

dehydrogenase adalah enzim intrasel denagn berat molekul 134.000 dalton.

Enzim ini dalam keadaan normal ditemukan di otot ( otot polos, lurik dan

jantung ), hati, ginjal dan otak. Kadarnya meningkat baik pada pasien

NSGCT dan seminoma.
Penanda lain yang juga dapat dipakai untuk menunjukkan adanya

kanker testis adalah placental alkaline phospatase ( PLAP )dan

gamma-glutamyl transpeptidase ( GGT ). 3

Pemeriksaan pencitraan
Tumor primer testis dapat dengan cepat dan tepat ditentukan

dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi pada testis. Sekali kanker

testis terdiagnosis setelah dilakukan orchiectomy inguinal maka staging

harus dilakukan. Pemeriksaan foto rontgen dada dan CT-scan abdomen dan

pelvis dilakukan untuk mengetahui adanya metastase ke paru dan

retroperitoneal yang paling sering menjadi tempat penyebaran tumor testis.

Magnetic resonance imaging ( MRI ) secara umum tidak memberikan informasi

gambaran radiologis yang lebih baik daripada CT-scan pada kasus tumor

testis. 3


Pada tahun 1996 the American Joint Committee mengemukakan suatu

klasifikasi TNM yang mencoba membuat standar staging secara klinis pada

kanker testis, yaitu :
• T ( Tumor primer )
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : kanker intratubular ( karsinoma in situ )
T1 : Tumor terbatas pada testis dan epididimis, tidak

terdapat invasi ke
pembuluh darah
T2 : Tumor melewati tunika albugenia atau terdapat

invasi ke pembuluh
darah
T3 : Tumor mencapai funikulus spermatikus
T4 : Tumor mencapai kulit skrotum
• N ( Kelenjar getah bening regional )
Nx : Adanya metastase ke kelenjar getah bening tidak dapat

ditentukan
N0 : Tidak terdapat metastase ke kelenjar getah bening
N1 : Terdapat metastase ke kelenjar getah bening dengan

ukuran lesi
≤ 2 cm dan melibatkan ≤ 5 kelenjar geatah bening
N2 : Metastase > 5 kelenjar, ukuran massa 2-5 cm
N3 : Ukuran massa > 5 cm
• M ( metastase jauh )
Mx : Adanya metastase jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak terdapat metastase jauh
M1 : Ditemukan adanya metastase jauh
• S ( Tumor marker pada serum )
Sx : Tumor marker tidak tersedia
S0 : Nilai kadar tumor marker pada serum dalam batas normal
S1 : Nilai kadar Lactic acid dehydrogenase (LDH) <> 10 x normal atau hCG > 50.000 mlU/ml atau AFP
> 10.000ng/ml

Stadium dan tingkat penyebaran karsinoma testis ( Peckham ) 5
STADIUM LOKASI TUMOR
I Tumor terbatas pada testis dan rete testis
IIA Tumor mengenai KGB retroperitoneal,ukuran <> 2 Cm dan <> 2 Cm
III Tumor mengenai KGB supraklavikula atau mediastinum
IV Metastase ekstralimfatik

Diagnosis Banding

Kesalahan dalam membuat diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi

pada kira-kira 25 % pasien dengan tumor testis dan pada akhirnya

menimbulkan keterlambatan dalam penatalaksanaanya dan kesalahan yang

bersifat fatal berupa tindakan pembedahan melalui approach yang keliru (

Insisi pada skrotum ) untuk melakukan eksplorsi testis.3
Kelaianan yang paling sering membuat seorang klinisi melakukan

kesalahan diagnosis adalah epididimitis atau epididimoorchitis. Pada

keadaan awal epididimitis memperlihatkan gejala berupa pembesaran, nyeri

tekan pada epididimis yang sangat jelas terpisah dari testis, tapi pada

keadaan lanjut dengan peradangan yang menjalar ke testis maka

gejala-gejala tadi akan melibatkan juga testis. Adanya riwayat demam,

discharge uretra dan gejala iritatif pada berkemih lebih memungkinkan

untuk mendiagnosis epididimis. Pemerksaan dengan USG dapat menentukan

bahwa pembesaran berasal dari epididimis dan buakn dari testis.3
Kelaianan kedaua yang seringkali menyebabkan kekeliruan dalam

membuat diagnosis tumor testis adalah hidrokel, pemeriksaan transluminasi

skrotum dapat dengan mudah membedakan antara adanya cairan pada hidrokel

dengan masa padat pada tumor testis. Pada 5-10% pasien dengan tumor testis

ditemukan adanya hidrokel dengan demikian apabila dengan pemeriksaan fisik

terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya maka pemeriksaan USG

merupakan suatu keharusan.3
Kelaianan lain yaitu spermatokel, massa kistik pada epididimis,

hematokel oelh karena trauma, varikokel dan orchitis granulomatosis yang

sering disebabkan oleh tuberkolosis. Tuberkolosis pada testis hampir

selalu berasal dari infeksi kuman ini pada epididimis. Merupakan hal yang

sangat sulit untuk membedakan pembengkakan oleh radang tuberkolosis dengan

massa tumor testis, oleh karena itu jiak pada pemberian OAT didapatkan

respon yang lambat maka sebaiknya dilakukan eksplorasi testis.1

Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pasien dengan tumor sel germinal adalah merujuk

pada riwayat alamiah dari tumor, staging klinis dan efektifitas

pengobatan. Tindakan orchiectomi radikal adalah tindakan bedah yang harus

dilakukan. Apabila dari serangkaian pemeriksaan adanya kanker testis tidak

dapat di singkirkan maka tindakan ini dapat dikerjakan. Tindakan biopsi

melalui skrotum atau membuka testis harus dihindari. Penatalaksanaan

selanjutnya tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi dan staging

tumor secara patologi. 3

A. Penatalaksanaan tumor dengan staging I ( T1-T3, N0, M0, S0 )
Seminoma
Pasien yang secara klinis menunjukkan gejala dan tanda tumor yang

terbatas pada testis, pemberian radiasi adjuvant terhadap kelenjar getah

bening retroperitoneal dan kemoterapi adalah pilihan terapi paska

orchiektomi. Radiasi adjuvan masih merupakan terapi pilihan pada penderita

seminoam stage I ( T1-T3, N0, M0, S0 ) seperti juga pada jenis

nonseminoma.1
Dengan melakukan orchiektomi radikal dan radioterapi pada daerah

retroperitoneal ( biasanya 2500-3000 cGy ), paraaorta dan pelvis

ipsilateral maka 95% seminoma stage I dapat sembuh. Seminoma merupakan

tumor yang radiosensitif. Penelitian terakhir membuktikan bahwa sekitar

15% pasien dengan staging I klinis telah menyebar ke daerah

retroperitoneal. 3
Meskipun efek samping pemberian radiasi dosis rendah jarang terjadi tapi

pada pemberian dalam jangka waktu lama pada beberapa laporan menunjukkan

adanya infertilitas, komplikasi pada saluran cerna dan kemungkinan radiasi

menginduksi timblnya keganasan lain.

Nonseminoma
Tindakan orchiektomi inguinal saja mampu menyembuhkan 60-80%

pasien nonseminoma. Tindakan retroperitoneal lymph node dissection ( RPLND

) perlu dilakukan dengan tujuan terapi dan diagnostik. Penyebaran dapat

terjadi pada kira-kira 30% pasien dengan nonseminoma nyang secara klilnis

masuk dalam staging I ( occult metastase ) sehingga pada klasifikasi

patologi masuk dalam staging IIA. Tindakan RPLND dilakukan melalui

thoracoabdominal approach. 3

B. Penatalaksanaan tumor dengan staging II ( N1-N3 )
Seminoma
Seminoma staging II ( stage IIA dan IIB ) memiliki angka

kesembuhan ( cure rate ) 85 – 95 %. Termasuk dalam staging ini adalah

pasien dengan tumor yang telah bermetastase ke daerah retroperitoneal yang

berukuran tranversal kurang dari 5 cm dengan staging N1-N3. Sebagai terapi

pilihan tumor pada staging II adalah radioterapi dengan angka kekambuhan

kurang dari 5 % dengan5-years survival ratenya 70 – 92 %. Pada pasien

dengan ukuran tumor di retroperitoneal lebih dari 5 cm ( N3 ) kira-kira

setengahnya akan bermetastase keluiar regio tersebut.
Perlu diperhatikan pasien-pasien dengan penyakit ginjal tapal kuda

( hourse shoe kidney ) dan inflammatory bowel disease maka terapi

radiasi merupakan kontraindikasi dan kemoterapi adalah terapi pilihan pada

pasien seminoma dengan kelainan ini. Obat-obat kemoterapi yang digunakan

adalah bleomycin, etoposide dan cisplatin ( BEP ).

Nonseminoma
Retroperitoneal lymph node dissection ( RPNLD ) merupakan tindakan

operasi yang standar dilakukan pada pasien dengan tumor nonseminoma stage

IIA dan IIB yang pada hasil pemeriksaan tumor marker ( AFP ) normal, jika

terdapat peningkatan kadarnya daam darah dan timbul gejala dan tanda

adanya kelaianan sistemik akibat metastase tumor maka terapi yang harus

dilakukan adalah pemberian kemoterapi primer yang terdiri dari bleomycin,

etoposide dan cisplatin ( BEP ), vinblastin, cyclophosphamide,

dactinomicyn, bleomycin, dan cisplatin ( VAB-6 ) dan

cisplatin-etoptoside.
Cisplatin diberikan sebanyak dua siklus jika ditemukan :
• Lebih dari 6 kelenjar getah bening terkena.
• Terdapat massa tumor yang berukuran lebih dari 2 cm.
• Adanaya tumor di luar kelenjar getah bening.
Jika terjadi kekambuahan maka pemberian cisplatin dapat dilakukan sebanyak

3-4 siklus. 3

C. Penatalaksanaan tumor dengan staging III ( T1-T4, N0-N3, M1-M2,

S0-S3 )
Seminoma
Penatalaksanaan seminoama staging tinggi ( high tumor burden )

yang meliputi pasien dengan tumor yang telah mengalami penyebaran yang

luas, ukuran tumor yang besar, terdapat metastase ke viseral dan kelenjar

supradiafragma termasuk juga pasien yang masuk dalam staging IIC ( T1-T4,

N0-N3, M1-M2, S0-S3 ) pemberian cisplatin dapat mengobati 60-70% pasien.
Terdapat pembagian seminoma pada staging ini berdasarkan respon terhadap

penobatan yaitu :
• Seminoma dengan prognosis baik
Pasien ini memiliki kemungkinan sembuh yang tinggi dengan respon terhadap

terapi mencapai 88-95%. Regimen obat yang diberikan berupa etoposide dan

cisplatin sebanyak 4 siklus atau dapat diberikan BEP sebanyak 3 siklus.
• Seminoma dengan prognosis buruk
Pasien dengan respon yang buruk terhadap kemoterapi memiliki respon rate

sebesar 40% dan pasien ini dapat diberikan BEP sebanyak 4 siklus.

Nonseminoma
Pasien dengan massa tumor yang besar di daerah retroperitoneal (

lebih dari 3 cm atau terdapat pada 3 slice CT-scan ) atau terdapat

metastase maka terapi dengan kemoterapi primer merupakan keharusan setelah

dilakukan orchiektomi. Jika hasil pemeriksan tumor marker normal dan

pemeriksan radiologi terlihat adanya massa maka harus dilakukan tindakan

reseksi karena massa tersebut 20% merupakan sisa massa tumor, 40% adalah

teratoma dan 40 % merupakan massa tumor yang mengalami fibrosis. Beberapa

ahli menganjurkan tetap perlu dilakukan RPNLD karena lebih dari 10% kasus

tetap ditemukan massa tumor, walaupun hasil kemoterapi menunjukkan hasil

yang sangat baik perlu dilaukan evaluasi kadar tumor marker selama

pemberian kemoterapi untuk mengetahui respon tumor terhadap pengobatan. 3


Orchiektomi radikal
Indakasi dilakukannya orchiektomi radikal adalah pasien dengan kecurigaan

adanya tumor testis. Kecurigaan tumor testis apabila pada pemeriksaan

fisik ditemukan adanya massa yang irreguler yang berasal dari testis,

tidak terdapat keluhan nyeri. Kecurigaan ini harus dipastikan melalui

pemeriksaan Doppler ultrasonografi pada skrotum. Adanya tumor testis

diperlihatkan oleh gambaran hipoekoik yang hipervaskuler pada lesi

intratestikuler. Tindakan ini dilakukan untuk menentukan diagnosis

histopatologi dan staging T. Tindakan ini pada sebagian besar kasus

memiliki morbiditas dan mortalitas yang rendah serta mampu mengontrol

perkembangan tumor lokal. Pada sedikit kasus memang terjadi hal yang tidak

diinginkan tetapi ini disebabkan oleh karena tumor spillage, orchiectomy

subtotal atau operasi melalui transscrotal ( whitmore, 1982 ). Tindakan

orchiectomy dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lokal dan

dapat dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan. Pasien dalam posisi

supine dengan skrotum ditempatkan dalam medan operasi yang steril.

Dilakukan insisi oblique pada daerah inguinal kira-kira 2 cm diatas

tuberculum pubicum dan dapat diperlebar sampai ke skrotum bagian atas

untuk mengangkat tumor yang berukuran besar. Insisi pada fasia Camper dan

Scarpa sampai ke aponeurosis obliqus eksternus dilanjutkan dengan

menginsisi aponeurosis sesuai dengan arah seratnya sampai mencapai anulus

inguinalis internus. Indentifikasi nervus ilioinguinalis dan funikulus

spermatikus setinggi anulus inguinalis internus dibebaskan dan diisolasi

dengan menggunakan klem atraumatik atau turniket penrose 0,5 inchi.Testis

dan kedua tunika pembungkusnya dikeluarkan dari skrotum secara tumpul

dengan hati-hati, jika akan dilakukan biopsa atau subtotal orchiectomy,

pengeleluaran testis dari skrotum dilakukan sebelum membuka tunika

vaginalis dan menginsisi jaringan testis. Orchiectomy radikal diakhiri

dengan memasukkan funikulus spermatikus ke dalam anulus inguinalis

internus dan meligasi pembuluh darah vas deferen dan funikulus spermatikus

secara sendiri-sendiri. Dilakukan irigasi pada luka dan skrotum dan

hemostasis lalu dapat dilalukan pemasangan protease testis. Selanjutnya

dilakukan penutupan aponeurosis muskulus obliqus eksternus dengan benang

prolene 2-0, fasia scarpa dijahit dengan benang absorble dan selanjutnya

dilakukan penutupan kulit. Dressing dengan penekanan pada skrotum dapat

meminimalisasi terjadinya udema paska operasi.2

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani orchiektomi

radikal adalah :
• Pendarahan, yang terlihat dengan adanya hematoma di skrotum atau

reroperitoneal.
• Infeksi luka operasi.
• Trauma pada nervus ilioinguinal yang mengakibatkan terjadinya

hipostesia pada tungkai ipsilateral dan permukaan lateral skrotum. 1

Hasil dan Prognosis
Seminoma
Setalah dilakukaan orkiectomi radikal dan pemberian radiasi

eksterna, maka pada pasien seminoma stag I 5-years disease-fre surviva

rate mencapai 95% dan 92-94% pada seminoma stag IIA. Pada pasien dengan

staging ang lebih tinggi yang telah menjalani orkiekomi radikal yang

diikuti dengan pemberian kemoterapi maka 5-years disease-fre surviva rate

nya 35-75%.3

Nonseminoma
Pasien pada stag I yang menjalani orchiektomi radikal dan RPLND

memiliki 5-years disease-fre surviva rate yang tinggi mencapai 96-100%.

Pada pasien stag II dengan massa tumor yang kecil dan telah menjalani

orkoiektomi radikal dan kemoterapi 5-years disease-fre surviva rate nya

mencapai 90% sedangkan pasien pada stag ini tapi dengan massa tumor yang

besar yang telah dilakukan orchiektomi radikal diikuti dengan kmoterapi

dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate sebesar 55-80%.3

Tindak Lanjut
Semua pasien dengan kanker sel germinal memerlukan pengamatan

secara teratur. Pasien yang telah menjalani tindakan RPLND atau

radioterapi memerlukan pengamatan lanjutan setiap 3 bulan selama 2 tahun,

lalu setiap 6 bulan selama 5 tahun selanjutnya setiap satu tahun. Pada

setiap kunjungan haruslah dilakukan pemeriksaan fisik pada sisa testis,

abdomen dan kelenjar getah bening sekitarnya, perlu pula dilakukan

pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan kadar AFP, hCG dan LDH. Selain

itu perlu pula dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorak dan abdomen. 1

TUMOR TESTIS NON SEL GERMINAL
Tumor testis non sel germinal hanya meliputi 5-6% dari seluruh

kasus tu or testis. Terdapat 3 tipe tumor testis non sel germinal yaitu

tumor sel leydig, tumor sel sertoli, dan gonadoblastoma.
1. Tumor sel leydig
Tumor sel leydig adalah tumor testis non sel germinal tersering yang

dijumpai meliputi 1-3% dari seluruh tumor testis. Tumor ini 25% terjadi

pada anak-anak, dangan 5-10% merupakan tumor bilateral. Terdapat jenis

yang jinak dan ganas. Penyebab tumor jenis ini tidak diketahui dan tidak

seperti pada tumor testis sel germinal yang dihubungkan dengan

kriptokidisme maka tumor sel leydig tidak dikaitkan dengan kelainan

tersebut. 3
Tampak adanya lesi kecil yang berwarna kekuningan tanpa adanya gambaran

hemoragi dan nekrosis. Terdapat sel-sel heksagonal yang granuler dengan

sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola lemak. 3

Gambaran mikroskopos tumor Gambaran mikroskopos

tumor
sel leydig tipe jinak

sel leydig tipe ganas
Temuan klinis yang dapat ditemukan pada penyakit ini berupa virilization

pada pasien usia pra pubertas dan merupakan suatu tumor jinak. Pada pasien

dewasa biasanya tidak bergejala meskipun pada 20-25% kasus terdapat adanya

ginekomastia dan tumor bersifat ganas pada 10% kasus. Pada pemeriksaan

laboratorium terdapat peningkatan kadar 17-ketosteroid serumdan urin dan

juga kadar estrogen. Pemeriksaan 17-ketosteroid penting untuk membedakan

jenis jinak dengan yang ganas, peningkatan 10-30 kali kadar enzim ini

adalah pertanda untuk tumor ganas dan indikasi untuk dilakukan RPLND. 3
Terapi inisial dari tumor ini adalah orchiektomi radikal. Peran

kemoterapi untuk tumor ini maih belum dapat ditentukan karena kasus tumor

sel leydig sangatlah jarang. 3
Progonosis tumor sel leydig jenis jinak sangat baik sedangkan

untuk jenis yang ganas prognosisnya buruk.3

2. Tumor sel sertoli
Tumor sel sertoli merupakan kasus yang sangat jarang, hanya meliputi

kurang dari 1% dari seluruh kasus tumor testis. Dari seluruh kasus tumor

sel sertoli 10% nya merupakan jenis ganas sedangkan sisanya merupakan lesi

jinak. Pada lesi jiank terlihat sel-sel dengan gambaran yang baik seperti

pada sel leydig normal sedangkan pada jenis ganas terlihat sel dengan

batas-batas yang tidak jelas. Secara mikroskopis tampak sel-sel yang

heterogan yang merupakan campuran dari sel epitel dan sel stroma.3
Gambaran mikroskopis tumor

Gambaran mikroskopis tumor
sel sertoli jenis jinak

sel sertoli jenis ganas
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa tumor pada testis dan

terjadi virilisasi pada penderita anak-anak. Pada 30% kasus ditemukan

adanya ginekomastia pada pasien dewasa.3
Tindakan orchiektomi merupakan terapi awal untuk tumor ini dan RPLND

diindikasikan untuk jenis tumor ganas. Peran kemoterapi dan radioterapi

untuk tumor sel sertoli masih belum jelas. 3

3. Gonadoblastoma
Gonadoblastoma hanya meliputi 0,5% dari seluruh kasus tumor testis dan

hampir selalu ditemukan pada pasien dengan disgenesis testis. Penderita

tumor ini sebagian besar dijumpai pada usia dibawah 30 tahun.
Manifestasi klinis yang terlihat pada kelainan ini berkaitan dengan

keadaan yang mendasari timbulnya gonadoblastoma yaitu adanya disgenesis

kelenjar gonad. Hal yang penting diperhatikan bahwa 4/5 pasien

gonadoblasoma secara fenotip adalah wanita dan pada penderita pria murni

biasanya menderita kriptokidisme dan hipospadia. 3
Terapi pilihan untuk gonadoblastoma adalah orchiektomi

radikal. Jika ditemukan adanya disgenesis kelenjar gonad maka tindakan

gonadektomi kontralateral selain dari pengangkatan kelenjar gonad yang

terkena merupakan indikasi dari kelainan ini karena gonadoblastoma

cenderung untuk mengenai kedua testis