27 April 2009
FRAKTUR PENIS
PENDAHULUAN
Fraktur penis merupakan darurat urologi yang jarang terjadi1, pertama kali dilaporkan pada tahun 19242, sebanyak 183 laporan telah dipublikasikan dengan 1331 kasus sejak tahun 1935 sampai dengan tahun 20013.
Fraktur penis adalah ruptur satu atau kedua korpus kavernosum penis dengan atau tanpa korpus spongiosum karena trauma tumpul pada penis yang ereksi.4,5 Penyebab tersering adalah trauma saat koitus1,4, penyebab lainnya adalah masturbasi, manipulasi penis nokturnal yang tidak disadari atau untuk mengurangi ereksi6, jatuh dengan penis ereksi terbentur benda tumpul, atau penis yang terjepit pada celana yang ketat2,7. Kebanyakan (75 %) terjadi pada satu sisi, 25 % pada kedua sisi, dan 10 % dari keduanya melibatkan uretra4,8.
Pada saat ereksi aliran darah arteri ke penis menyebabkan korpus kavernosum dan spongiosum membesar ke arah longitudinal dan transversal sehingga penis menjadi keras dan mobilitasnya berkurang, tunika albuginea lebih tipis dari 2 mm mencapai 0,5 – 0,25 mm sehingga mudah robek jika ada trauma8,9. Penis akan bengkak, hematom, terasa nyeri, dan bengkok ke arah yang berlawanan dari sisi fraktur10. Hematom biasanya terbatas sampai fasia Buck’s, jika fasia Buck’s ikut terlibat maka hematom dapat sampai ke skrotum, perineum anterior, dan dinding abdomen bagian bawah11.
Umumnya penderita mengeluh fraktur penis akibat koitus dengan posisi pasangan di atas tubuh mengangkangi penis7,8. Saat koitus penis keluar dari vagina dan saat akan dimasukkan kembali penis membentur pubis atau perineum7. Semua penderita melaporkan adanya bunyi retak yang khas (“Cracking sound”) diikuti dengan hilangnya ereksi, nyeri hebat, penis udem dan berubah warna, serta terjadi perubahan bentuk penis11,12.
Sebelum tahun 1971, terapi pada fraktur penis dilakukan dengan konservatif yaitu dengan bidai penis, kompres es, ensim streptokinase untuk mencegah udem, sedatif dan estrogen untuk mencegah ereksi2,4. Terapi ini perlahan berubah sejak 1986, 80 % penderita fraktur penis dilakukan tindakan pembedahan10
Tindakan bedah pada fraktur penis dilakukan untuk mencegah komplikasi, yaitu : disfungsi ereksi, abses penis, nodul pada sisi ruptur, kurvatura penis permanen, nyeri pada saat ereksi, fistula corpouretral, fistula arteriovenosa, dan terbentuknya plak fibrotik4. Tiga jenis insisi yang dilakukan pada tindakan bedah yaitu : insisi langsung di atas defek, insisi circumscribing-degloving, dan insisi inguinal skrotal7.
BAHAN & CARA
Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dengan diagnosa klinik fraktur penis dirawat di unit gawat darurat Rumah Sakit Akademis. Karakteristik penderita dicatat, umur, status pernikahan, aktivitas yang menyebabkan trauma, keluhan yang dirasakan oleh penderita, dan waktu kejadian pada saat trauma hingga tiba di rumah sakit.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik (gambar 1), pemeriksaan tambahan darah rutin untuk persiapan operasi, serta pemeriksaan urinalisis.
Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea korpus kavernosum (gambar 2) dan korpus spongiuosum. Untuk menghindari kerusakan uretra pada saat eksplorasi, kateter 18 F dipasang sebelum operasi dan dilepas 3 hari setelah operasi. Penderita dipulangkan pada hari kelima.
Gambar 1. Fraktur penis
Robekan dijahit dengan vicryl 3-0 secara terputus (gambar 3) , dan kulit ditutup secara primer tanpa menggunakan drain dengan “Chromic Catgut” 3-0 secara terputus (gambar 4). Setelah itu dilakukan bebat tekan pada penis. Antibiotik perioperatif dengan cephalosporin generasi 3, dan diasepam untuk mencegah ereksi
HASIL
Tiga kasus fraktur penis antara Desember 2002 hingga Januari 2005, 2 kasus disebabkan trauma saat koitus dan 1 kasus karena manipulasi pada penis. Dari 2 kasus trauma saat koitus, 1 penderita dengan posisi di atas pasangannya dan 1 penderita dengan posisi di bawah pasangannya. Umur penderita antara 35 – 41 tahun (rata – rata 38 tahun) dan ketiga penderita telah menikah. Waktu kejadian hingga tiba dirumah sakit antara 2 – 72 jam (rata – rata 37 jam).
Semua penderita mendengar bunyi khas (cracking sound), yang dikuti dengan nyeri hebat, hilangnya ereksi, udem, hematom, dan penis yang membengkok. Tidak ada darah yang keluar dari orifisium uretra eksterna, dan tidak ada gangguan buang air kecil.
Dari pemeriksaan fisik, dua penderita mengalami fraktur pada sisi kanan, dan satu pada sisi kiri. Hal ini dilihat dari deviasi penis ke arah yang berlawanan. Pada saat eksplorasi ditemukan robekan pada korpus kavernosum kanan pada 2 pasien dan korpus kavernosum kiri 1 pasien. Dua penderita dengan robekan pada mid-shaft, dan 1 pada proksimal penis. Ditemukan juga robekan pada korpus spongiosum pada dua penderita tetapi tidak sampai merobek mukosa uretra.
Tabel 1. Kriteria penderita dan gejala klinik
Kriteria pasien
Kasus
Umur (tahun)
30 – 39
40 – 49
Status pernikahan
Menikah
Belum menikah
Gejala klinik
Cracking sound
Nyeri
Ereksi yang hilang
Udem dan hematom
Tabel 2. Temuan pada saat operasi
Penemuan
Kasus
Robekan korpus kavernosum
Kanan
Kiri
Letak
Proksimal
Mid-Shaft
Distal
Robekan korpus spongiosum
Tidak ditemukan adanya komplikasi post operasi pada ketiga penderita, kateter uretra dilepas pada hari ketiga dan penderita dapat miksi dengan normal. Penderita dipulangkan pada hari kelima post operasi. Follow up enam minggu setelah operasi, tidak ada deformitas pada penis, ereksi penis lurus, dan dapat koitus tanpa rasa nyeri.
DISKUSI
Dari hasil laporan kami memperlihatkan, fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Umur penderita pada laporan ini rata – rata 38 tahun, diliteratur dikatakan berkisar 26 – 41 tahun (Dikutip dari El Fadil et.al6).
Sebagian besar kasus, 2 dari 3 (66%) kasus penyebabnya trauma saat koitus. Dincel et.al.3 melaporkan 72,7% kasus, De Stefani et.al5 melaporkan 62,5% kasus, El Fadil et.al6 melaporkan 57 % kasus disebabkan trauma saat koitus. Tetapi Al Saleh BMS et.al.11 melaporkan hanya 22,2% yang disebabkan trauma saat koitus, sebagian besar 66,6% disebabkan manipulasi pada penis yang ereksi.
Umumnya trauma saat koitus terjadi pada saat penderita berada di bawah pasangannya, pada saat penis keluar dan akan dimasukkan kembali ke vagina, penis membentur pubis atau perineum7.
Walaupun diagnosis fraktur penis mudah ditegakkan secara klinis, tetapi penatalaksanaannya masih kontroversial. Belum ada penelitian jangka panjang yang membandingkan efektifitas antara terapi operatif dan konservatif3. Jallu et.al9 melaporkan 4 kasus fraktur penis yang berhasil baik dengan pengobatan konservatif berupa Oxyphenbutazone 3 x 200 mg dan diazepam oral 3 x 10 mg sehari selama 2 – 3 minggu. Tetapi banyak penulis yang menganjurkan untuk melakukan tindakan eksplorasi segera1,3,6,8,11.
Terapi konservatif memberikan 29 % komplikasi yaitu adanya bekuan darah, curvatura pada penis, infeksi, abses penis, ekstravasasi urin yang persisten, dan nyeri pada saat ereksi2,3,5,8. Lama tinggal di rumah sakit sekitar 14 hari dibandingkan terapi operatif yang rata – rata 6,6 hari.3 Pada 3 kasus kami semuanya dilakukan tindakan operasi dan tidak didapatkan komplikasi yang signifikan, dan lama perawatan di rumah sakit 5 hari.
Preoperatif cavernosografy dianjurkan oleh beberapa penulis untuk melihat sisi yang robek dan merencanakan tindakan operasi2,3,10. Kebanyakan pemeriksaan cavernosografy dilakukan jika hasil fisis diagnostik meragukan, sedangkan anamnesis ada indikasi kemungkinan cedera corpus cavernosum5,7. Semua kasus kami segera dilakukan tindakan operasi eksplorasi berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang jelas tanpa melakukan pemeriksaan kavernosografy.
Cedera pada uretra akibat fraktur penis dilaporkan sekitar 0 – 3% di Asia, 20 – 38 % di AS dan Eropa2. Uretrografy Retrogade dilakukan jika ada kecurigaan cedera pada uretra dengan ditemukan gangguan berkemih, hematuri atau adanya darah pada orifisium uretra eksterna.
Pemasangan kateter preoperatif masih kontroversial, ada yang menyarankan sebagai suatu tindakan rutin setelah pada pemeriksaan fisis tidak ada tanda – tanda cedera uretra6. Pemasangan kateter memudahkan diseksi intraoperatif tanpa mencederai uretra dan mencegah kontaminasi luka post operasi5,7. Pada kasus kami kateter dilepas 3 hari post operatif. Perioperatif diberikan antibiotik profilaksis Cephalosporin generasi ketiga.
Dilakukan tindakan eksplorasi dengan insisi circumscibbing degloving dan eksposure korpus kavernosum dan korpus spongiosum, diikuti dengan evakuasi hematom, dan identifikasi robekan pada tunica albuginea. Robekan di jahit dengan Vicryl 3-0 secara interuptus, kulit dijahit dengan “chromic catgut” 3-0 secara interuptus.
Semua penderita dirawat selama 5 hari dalam keadaan baik. Follow up sampai 6 minggu, tidak ada deformitas penis, penis dapat ereksi dengan lurus tanpa rasa nyeri dan coitus dapat dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kolfman L, Cavalcanti AG, Manes CH, Filho DR, Favorito LA. Penile Fracture – Experience in 56 Cases. International Braz.J.Urol. 2003.29(1):35–39.
2. Jack GS, Garraway I, Reznichek R, Rajfer J. Current Treatment Options for Penile Fractures. Reviews in Urology. 2004. 6(3):115-20.
3. Dincel C, Cascurlu T, Resim S, Bayraktar Z, Tasci A, Sevin G. Fracture of the Penis. Eastern Journal of Medicine. 1998.3 (1) : 17 – 19.
4. Palinrungi AM. Fracture of the Penis : A Case Report. J.Med.Nus. 2002. 23(1):560–63, .
5. El Malik EFMA, Ghali AM, Ibrahim AIA, Rashid M. Fracture of the Penis : A Critique of Clinical Features and Management. http://www.kfshrc.edu.sa/annals/175/96-268.html. 01/09/2003
6. DE Stefani S, Stubinski R, Ferneti F, Simonato A, Cermignani G. Penile Fracture and Associated Urethral Injury. http://www.duj.com/article/De_Stefani2.html 21/03/2005
7. Choe JM, Heiland M, Ghoniem GM, Talevarea F, Morey FA, Wolf JS, Leslie SW (Edits).Penile Fracture and Trauma http://www.emedicine.com/med/topic3415htm 12/28/2002.
1.8. Penis Fracture. Http://www.herbolove.com/library/resource/fracture/ov.asp 01/06/2003
9. Jallu A, Wani NA, Rashid PA. Fracture of the Penis. Br.J.Urol, 1980.123:285–6.
10. Lehman E, Kremer S. Fracture of the Penis. Surgery Gyn&Obs.1990.171:148–50..
11. Al Saleh BMS, Ansari ER, Al Ali IH, Tell JY, Saheb A. Fractures of the Penis seen in Abu Dhabi. J.Urol. 1985.134:274-5.
12. Philip T, Collin J. The Fractured Shaft-an unusual penile injury. Br.J.Surg. 1983. 70:93.
ABSTRAK
Pendahuluan : Fraktur penis merupakan keadaan darurat urologi yang jarang terjadi. Penyebab tersering trauma saat koitus. Kami laporkan 3 kasus dengan tindakan operasi.
Bahan dan Cara : Antara Desember 2002 hingga Januari 2005, tiga penderita dilakukan operasi darurat setelah mengalami fraktur penis. Dilakukan eksplorasi dengan circumscribbing incision, debridemand, dan penjahitan primer robekan tunika albuginea.
Hasil : Umur rata – rata penderita 38 tahun ( 35 - 41 tahun), Fraktur penis karena trauma saat koitus 2 penderita, manipulasi penis saat ereksi 1 penderita. Lama perawatan 5 hari dengan pemasangan kateter hingga 3 hari post operasi. Tidak ditemukan komplikasi post operasi, 6 minggu setelah operasi penderita dapat ereksi dengan lurus dan melakukan koitus tanpa rasa nyeri.
Kesimpulan : Fraktur penis didiagnosis secara klinis, terapi operatif menghindari komplikasi dan mengembalikan fungsi penis kembali normal.
TUMOR WILMS
Deskripsi patologi mengenai tumor Wilms pertama kali ditulis pada tahun 1872 dan dideskripsikan oleh Osler pada tahun 1879. Osler menemukan bahwa tumor ginjal pada anak-anak yang dilaporkan oleh beberapa klinisi saat itu sebenarnya merupakan kelainan yang sama. Pada tahun 1899, Wilms melaporkan 7 kasus yang dijumpainya dan melakukan tinjauan literatur pada kongres di Berlin. Penjelasannya mengenai gambaran klinis penyakit ini sangat jelas sehingga istilah tumor yang memakai namanya ini (tumor Wilms) lebih populer digunakan daripada nefroblastoma hingga sekarang. Eksisi bedah merupakan pilihan terapi satu-satunya hingga tahun 1915, ketika Friedlander memperkenalkan terapi radiasi sebagai altenatif pilihan. Ladd dan White kemudian secara bertahap menyempurkan teknik bedah dan meningkatkan survival hingga 20%. Kemoterapi dengan aktinomisin-D dimulai tahun 1954 dan vinkristin ditambahkan pada tahu 1963. Pada tahun 1956, Farber dengan menggunakan kombinasi eksisi bedah, radiasi pascaoperasi, dan kemoterapi memulai era modern dengan angka survival selama 2 tahun mencapai 81%.
Pada tahun 1969, karena kasus tumor Wilms di Amerika Serikat berkisar antara 450-500 pertahun, timbul upaya kolaborasi untuk mendapatkan jumlah pasien yang bermakna secara statistik. Karenanya, Children's Cancer Study Group, Cancer and Leukemia Group B dan Southwest Oncology Group bergabung membentuk National Wilms Tumor Study Group (NWTS). Kolaborasi ini menghasilkan peningkatan survival yang sangat bermakna.
Insidens
Tumor Wilms merupakan tumor ganas intraabdomen yang tersering pada anak-anak. Di Amerika Serikat, penyakit ini dialami oleh lebih dari 400 penderita tiap tahunnya. Usia tersering adalah 3,5 tahun.
Tumor Wilms terjadi secara sporadik (95%), familial (1-2%), atau berkaitan dengan suatu sindrom (2%). Sindrom yang berkaitan dengan tumor Wilms adalah WAGR (Wilms, aniridia, malformasi traktus genitourinarius, dan retardasi mental), sindrom Beckwith-Widemann (gigantisme, makroglosia, hiperplasia sel pankreas) dan sindrom Denys-Drash (pseudohermafrodit, nefropati, dan tumor Wilms). Kejadiannya cenderung timbul pada pasien yang lebih muda. Tumor Wilms sporadik berkaitan dengan 10% kasus dengan hemihipertrofi yang terisolasi atau malformasi genitourinarius seperti hipospadia, kriptorkismus, dan fusi ginjal. Tumor ginjal sinkronous yang bilateral ditemukan pada 5-10% kasus. Skrining rutin dengan USG setiap 6 bulan hingga usia 8 tahun direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi terhadap timbulnya tumor Wilm.
Kejadian Tumor Wilms dan Genetika
Awalnya diperkirakan, tumor Wilms terjadi akibat kejadian genetik yang sesuai dengan teori two hit model yang pertama dikembangkan pada retinoblastoma. Jika mutasi pertama terjadi sebelum penggabungan sperma dan sel telur (mutasi konstitusional/ germline), tumor diturunkan dan individu tersebut mendapat risiko mengalami multipel tumor. Tumor Wilms nonherediter terjadi akibat dua mutasi postzigot (somatik) pada sel tunggal. Hipotesis two hit model memperkirakan bahwa pasien dengan individu yang rentan, seperti kasus familial, pasien dengan penyakit yang multifokal, dan dengan kelainan anomali mempunyai usia median yang lebih rendah dibandingkan kasus sporadik. Saat ini, diketahui bahwa mutasi beberapa gen terlibat dalam patogenesis tumor Wilms.
Hilangnya seluruh bagian dari kromosom disebut loss of heterozygosity (LOH), suatu mekanisme yang diduga menginaktivasi gen supresor tumor. Dari 50% kasus tumor Wilms, dapat ditemukan adanya LOH pada dua lokus genetik: 11p13 dan 11p15. Tumor Wilms terjadi pada 30% pasien dengan sindrom WAGR. Anak dengan sindrom WAGR memperlihatkan delesi pada lengan pendek kromosom 11 band 13 (11p13) namun daerah 11p15nya normal. Hingga sepertiga tumor Wilms yang sporadik, terjadi perubahan pada bagian distal kromosom 11, yang melibatkan band p13. Tempat delesi ini diberi nama gen WT1, suatu gen supresor tumor yang juga membentuk kompleks dengan supresor tumor lainnya, yaitu p53. Gen WT1 mengekspresikan pengaturan faktor transkripsi dari suatu protein yang terbatas pada sistem genitourinarius, limpa, mesenterium dorsal dari usus, otot, susunan saraf pusat, dan mesotelium. WT1 mengalami delesi pada semua kasus WAGR. Hubungan penting antara mutasi WT1 dan WAGR dengan berhentinya nefrogenik intralobuler menyebabkan dugaan bahwa ekspresi WT1 dibutuhkan untuk diferensiasi normal dari nefroblas. Hanya 5-10% tumor Wilms yang sporadik menunjukkan adanya mutasi WT1. Inaktivasi WT1 hanya mempengaruhi organ yang mengekspresikan gen ini, seperti ginjal dan sel-sel gonad tertentu (sel Sertoli testis dan sel granulosa ovarium). WT1 juga ditemukan sebagai penyebab sindrom Denys-Drash. Kebanyakan mutasi yang ditemukan pada pasien DDS merupakan mutasi missense yang dominan.
Sebagian dari penderita BWS mengalami duplikasi atau delesi dari 11p15. Daerah ini dinamai WT2 dan merupakan telomerik dari WT1. BWS juga berkaitan dengan IGF-2, suatu gen yang menginduksi pertumbuhan embrional. Hal ini membuktikan kemungkinan adanya dua lokus yang berbeda terlibat dalam pembentukan tumor. Kandidat gen lain adalah gen insulin-like growth factor II (IGFII), dan gen tumor supresor H19. Fraksi penting dari tumor Wilms (tanpa terjadinya LOH pada tingkat DNA) telah ditemukan mempengaruhi cetakan dengan akibat ekspresi yang berlebihan dari IGFII dan hilangnya ekspresi supresor tumor H19. IGFII kemungkinan bekerja seperti onkogen dengan perpetuating nefroblas dan mungkin menyebabkan berhentinya perilobar yang diobservasi pada BWS.
Sebuah bentuk gen familial tumor (FWT1) juga telah diidentifikasi pada kromosom 17q dan juga kromosom 7p dapat sebagai gen predisposisi tumor setelah ditemukannya translokasi konstitusional. Mutasi pada p53 berkaitan dengan progresi tumor, anaplasia, dan prognosis yang jelek. Kebanyakan tumor Wilm kemungkinan disebabkan oleh mutasi somatik pada satu atau lebih dari gen-gen tumor yang telah teridenfikasi tersebut.
Beberapa tempat kromosom juga telah diidentifikasi berperan dalam perkembangan tumor. LOH pada kromosom 16q dan 1p menunjukkan progresivitas dan agresivitas pada 20% penderita tumor Wilms. Angka kekambuhan tumor Wilms 3 kali dan angka mortalitasnya 12 kali lebih tinggi dari penderita tumor Wilms tanpa LOH pada kromosom 1p. p53 juga berkaitan dengan histologi anaplastik yang unfavourable.
Pasien dengan tumor Wilms dan kandungan DNA yang diploid (mengindikasikan proliferasi yang rendah) ditemukan mempunyai prognosis yang baik. Hiperploidi (aktivitas mitotik yang tinggi) merupakan gambaran prosnostik yang buruk untuk tumor Wilms.
Sisa nefrogenik merupakan lesi prekursor bagi tumor Wilms. Ada dua tipe yang dikenal: perilobar nephrogenic rest (PLNR) yang terbatas di lobus perifer dan intralobar nephrogenic rest (ILNR) yang terdapat di dalam lobus, sinus renal, atau dinding sistem pelviokalises. Hubungan yang erat antara ILNR, aniridia, dan sindrom Denys Dash di mana gen WT1 terlibat, mengimplikasikan pendapat bahwa lokus ini mungkin berhubungan dengan patogenesis ILNR. Demikian pula, hubungan antara BWS dan beberapa kasus hemihipertrofi dengan kelainan lokus yang lebih jauh pada kromosom 11 meningkatkan kemungkinan bahwa gen WT2 mungkin lebih erat hubungannya dengan PLNR. Keuntungan uji genetik pada anak dengan sporadik aniridia, hemihipertrofi atau sindrom-sindrom di atas yang berisiko tinggi mengalami tumor Wilms dapat menjalani skrining DNA. Hal ini akan mengidentifikasi mereka yang mengalami mutasi dan memerlukan observasi yang ketat terhadap pertumbuhan tumor.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis tumor Wilms berupa massa besar intraabdomen atau di pinggang yang asimptomatik dan seringkali ditemukan secara kebetulan oleh keluarga. Kadang kala temuan ini disertai rasa nyeri, hematuria asimptomatik (pada sepertiga kasus), dan demam. Gambaran klinis lainnya berupa malaise, penurunan berat badan, anemia, varikokel kiri (akibat obstruksi vena renalis kiri), dan hipertensi. Trombus tumor dapat meluas ke vena cava inferior dan jantung sehingga menimbulkan malfungsi jantung. Kadang-kadang, terjadi gejala akut abdomen akibat ruptur tumor setelah suatu trauma minor.
Pemeriksaan fisik meliputi palpasi abdomen yang cermat dan pengukuran tekanan darah pada keempat ektremitas. Tumor dapat memproduksi renin atau menyebabkan kompresi vaskuler sehingga mengakibatkan hipertensi. Deskripsi yang rinci mengenai kelainan traktus urinarius dan adanya aniridia atau hemihipertrofi juga perlu dicari.
Tidak ada tes darah atau urin yang merupakan alat diagnostik untuk tumor Wilms. Laporan terakhir menyebutkan peningkatan bFGF pada urin berkaitan dengan kelainan ini. Jika faktor ini muncul, peningkatan yang menetap setelah reseksi tumor mengindikasikan adanya persistensi atau rekurensi penyakit. Derajat peningkatan juga berkaitan dengan prognosis.
Evaluasi awal terdiri dari pemeriksaan foto polos abdomen, ultrasonografi, IVP, urinalisis, foto toraks, dan CT scan. Keberadaan massa intrarenal yang padat menyebabkan distorsi sistem pelviokalises sangat membantu dalam diagnosis tumor Wilms. USG atau MRI vena renalis dan vena cava inferior dapat menyingkirkan adanya penyebaran tumor ke dalam vena. Metastasis tersering dijumpai pada paru-paru dan hepar.
Patologi
Komponen klasik dari tumor Wilms terdiri dari tiga komponen yang tampak pada diferensiasi ginjal normal: blastema, tubulus,dan stroma. Terdapat gambaran yang heterogen dari proporsi komponen tersebut dan juga adanya diferensiasi yang aberan, seperti jaringan lemak, otot lurik, kartilago, dan tulang. Adanya gambaran komponen yang monofasik juga ditemukan. Tumor ginjal lain yang ditemukan pada anak berupa mesoblastik nefroma, clear cell sarkoma, dan renal rhabdoid tumor dapat membingungkan.
Gambaran anaplasia merupakan indikator penting dalam prognosis tumor Wilms. Gambaran anaplastik ditandai oleh pembesaran inti sel 2-3 kali lipat, hiperkromatisasi, dan gambaran mitosis yang abnormal.
Staging
Staging berdasarkan NWTSG V, terdiri dari:
Stadium I:
Tumor terbatas pada ginjal dan dapat direseksi secara lengkap dengan kapsul ginjal yang utuh. Tidak terjadi ruptur atau robekan kapsul. Pembuluh darah sinus renal tidak terlibat
Stadium II:
Tumor sudah melewati kapsul ginjal namun dapat dieksisi secara lengkap. Terdapat ekstensi regional tumor yang dibuktikan dengan penetrasi kapsul atau dengan invasi ekstensif sinus renal. Pembuluh darah di luar sinus renal dapat mengandung tumor. Tumor mengalami cedera akibat biopsi atau tercecer terbatas di daerah flank. Tidak ada bukti tumor pada atau di luar batas reseksi.
Stadium III:
Terdapat sisa tumor nonhematogen yang terbatas pada abdomen, atau yang meliputi berikut ini:
a. Keterlibatan kelenjar getah bening pada hilus atau pelvis
b. Penetrasi tumor melalui permukaan peritoneum
c. Implan tumor pada permukaan peritoneum
d. Tumor gross atau mikroskopik pada atau di luar batas reseksi bedah
e. Tumor tidak dapat direseksi secara lengkap karena infiltrasi lokal ke dalam struktur vital
f. Tumor menyebar tidak terbatas pada daerah flank
Stadium IV:
Metastasis hematogen ke paru-paru, hepar, tulang atau otak atau metastasis ke kelenkar getah bening di luar abdomen dan pelvis. Nodul paru tampak pada CT scan harus dibiopsi untuk diagnosis definitif stadium IV.
Stadium V:
Keterlibatan kedua ginjal pada diagnosis. Setiap sisi harus didiagnosis secara individu menurut kriteria di atas.
Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan tindakan untuk terapi sekaligus penentuan stadium tumor. Berdasarkan rekomendasi NWTSG, nefrektomi primer dikerjakan pada semua keadaan kecuali pada tumor unilateral yang unresectable, tumor bilateral dan tumor yang sudah berekstensi ke vena cava inferior di atas vena hepatika. Tumor yang unresectable dinilai intraoperatif. Diberikan kemoterapi seperti stadium III dan pengangkatan tumor dilakukan setelah 6 minggu. Pada tumor bilateral, dilakukan biopsi untuk menentukan jenis tumor dan diberikan kemoterapi biasanya dalam 8-10 minggu. Nefrektomi dilakukan pada kasus tumor bilateral jika diberikan sisa parenkim ginjal setelah reseksi tumor masih lebih dari 2/3. Hal penting dalam pembedahan meliputi insisi transperitoneal, eksplorasi ginjal kontralateral, dilakukan nefrektomi radikal, hindari tumpahan tumor, dan biopsi kelenjar getah bening yang dicurigai.
Terapi lanjutan dengan kemoterapi atau radioterapi tergantung pada hasil staging dan histologi (favourable atau non favourable) dari tumor. Berdasarkan NWTS-5 berikut algoritma pemberian kemoterapi dan radioterapi pada tumor Wilms.
Nefrektomi parsial hanya dianjurkan pada pasien dengan tumor bilateral, solitary kidney, dan insufisiensi renal.
Pada kasus tumor Wilms bilateral yang perlu dilakukan nefrektomi bilateral, transplantasi dilakukan setelah 1 tahun setelah selesai pemberian kemoterapi.
Keberhasilan penanganan tumor Wilms ditentukan dari hasil stratifikasi, registrasi, dan studi NWTSG. Survival bebas penyakit 95% untuk stadium I, dan kira-kira 80% untuk pasien secara keseluruhan. Prognosis buruk dijumpai pada pasien dengan metastasis ke kelenjar getah bening, paru-paru dan hepar.
Komplikasi dan Penatalaksaan Penyakit Lanjut
1. Tumor Bilateral
2. Ekstensi Intracaval dan atrium
3. Tumor lokal yang lanjut
4. Obstruksi usus halus
5. Tumor maligna sekunder
Kanker Testis
PENDAHULUAN
Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada pria kelompok usia 15 – 35 tahun. Setiap tahun kira-kira ditemukan 2-3 kasus baru dari 100.000 pria di Amerika Serikat. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis, perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari 50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap pasien.1
Perubahan pada filosofi penatalaksanaan tumor testis ini didasarkan pada penegetahuan mengenai perlunya membuat metoda terapi lapis kedua setelah metode terapi pilihan pertama gagal.1
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi testis
Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan stroma tempat dimana sel leydig berada.1
Testis normal berukuran rata-rata 4x3x2,5 cm. Organ ini diliputi oleh suatu lapisan yang disebut dengan tunika albuginea, oleh suatu septa-septa jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus. Pada bagian anterior dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut dengan tunika vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal, lapisan ini langsung berhubungan dengan kulit skrotum.4 Di sebelah posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool atas dan bawahnya. Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan lapisan kulit yang tidak rata dimana dibawahnya terdapat suatu lapisan yang disebut tunika dartos yang terdiri dari serabut-serabut otot.3
Peredarahan darah testis memiliki keterkaitan dengan peredarahan darah di ginjal karena asal embriologi kedua organ tersebut. Pembuluh darah arteri ke testis berasal dari aorta yang beranastomosis di funikulus spermatikus dengan arteri dari vasa deferensia yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Aliran darah dari testis kembai ke pleksus pampiniformis di funikulus spermatikus. Pleksus ini di anulus inguinalis interna akan membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan masuk ke dalam vena cava inferior sedangkan vena spermatika kiri akan masuk ke dalam vena renalis kiri.3
Saluran limfe yang berasal dari testis kanan mengalir ke kelenjar getah bening di daerah interaaortacaval, paracaval kanan dan iliaka komunis kanan, sedangkan saluran limfe testis kiri mengalirkan isinya ke kelanjar getah bening paraaorta kiri dan daerah hilus ginjal kiri, paracaval kiri dan iliaka kiri.3
Insidensi
Kanker testis adalah salah satu dari sedikit neoplasma yang dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan penanda tumor ( tumor marker ) pada serum tersangka penderita yaitu pemeriksaan human chorionic gonadotropin (bhCG) dan α-fetoprotein (AFP).1
Insiden kanker testis memperlihatkan angka yang berbeda-beda di tiap negara, begitu pula pada setiap ras dan tingkat sosioekonomi. Di negara skandinavia dilaporkan 6,7 kasus baru dari 100.000 laki-laki tiap tahunnya sedangkan di Jepang didapatkan 0,8 dari 100.000 penduduk laki-laki. Di Amerika Serikat ditemuan 6900 kasus baru kanker testis setiap tahunnya. ( greenlee et all,2000 )
Kemungkinan seorang laki-laki kulit putih untuk terkena kanker testis sepanjang hidupnya di Amerika Serikat adalah 0,2%. Saat ini angka survival pasien dengan tumor testis meningkat, hal ini memperlihatkan perkembangan dan perbaikan dalam pengobatan dengan kombinasi kemoterapi yang efektif. Secara keseluruhan 5-years survival rate mengalami peningkatan dari 78% pada 1974-1976 menjadi 91% pada 1980 – 1985. Puncak insiden kasus tumor testis terjadi pada usia-usia akhir remaja sampai usia awal dewasa ( 20-40 tahun ), pada akhir usia dewasa ( Lebih dari 60 tahun ) dan pada anak ( 0-10 tahun ). Secara keseluruhan insiden tertinggi kasus tumor testis terjadi pada pria dewasa muda, hal ini membuat tumor ini menjadi noeplasma tersering mengenai pria usia 20-34 tahun dan tumor tersring kedua pada pria usia 35-40 tahun di Amerika Serikat dan Inggris Raya.1
Kanker testis sedikt lebih sering terjadi pada testis kanan dibanding testis kiri, ini berhubungan dengan lebih tingginya insidensi kriptoidosme pada testis kanan dibanding testis kiri. Pada tumor primer testis 2-3 % adalah tumor testis bilateral dan kira-kira 50% terjadi pada pria dengan riwayat kriptokidsme unilateral ataupun bilateral. Jika tumor testis sekunder disingkirkan maka insiden tumor testis primer bilateral 1 – 2,8 % dari seluruh kasus tumor sel germinal testis.1Tumor primer testis bilateral dapat terjadi secara berbarengan ataupun tidak, tetapi cenderung memiliki kesamaan jenis histilogisnya. Dari penelitian oleh Bach dkk ( 1983 ) di dapatkan seminoma merupakan tumor primer testis bilateral tersering ( 48 % )1 sedangkan limfoma maligana adalah tumor testis sekunder bilateral tersering.3
Etiologi
Saat ini belum diketahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya tumor testis, adanya faktor bawaan dan didapat merupakan faktor yang dikaitkan dengan penyakit ini dan kriptokidisme merupakan faktor terkuat yang diduga menjadi penyebab kanker testis. Faktor resiko tertinggi terjadinya kanker testis adalah adanya testis intra abdomen yang diakibatkan oleh undescensus testis ( 1 kasus dari 20 kasus undescensus testis ). Sementara itu tindakan orchiopeksi tidak merubah potensi terjadinya keganasan testis pada kasus kriptokidisme.1
Adanya bukti klinis dan eksperimental mendukung faktor konginetal sebagai etiologi dari tumor sel germinal. Dalam perkembangan embriologinya sel germinal primordial mengalami perubahan oleh karena faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses diferensiasinya. Oleh karena adanya kriptokidisme, orchitis, disgenesis gonad, adanya kelaianan herediter ataupun oleh karena paparan bahan kimia yang bersifat karsinogenik maka perkembangan normal sel germianl mengalami hambatan. Secara garis besar 2 faktor yang dianggap menjadi etiologi terjadinya tumor sel germial yaitu : (1) Faktor kongenital, (2) Faktor didapat.1
a. Faktor kongenital
Kriptokidisme
Dari suatu penelitian yang dilakukan Grove ( 1954 ) memperlihatkan bahwa 7-10% pasien dengan tumor testis memiliki riwayat kriptokidisme sebelumnya. Whiteker ( 1970 ) dan Mostofi ( 1973 ) mengemukakan 5 keadaan yang dianggap kriptokidisme menjadi penyebab terjadinya tumor testis yaitu :1
· Morfologi sel germinal yang abnormal.
· Peningkatan temperatur tempat testis berada ( intraabdomen atau spermatic cord ).
· Gangguan aliran darah.
· Kelainan fungsi endokrin.
· Disgenesis kelenjar gonad.
Insiden pasti kasus kriptokidisme belum diketahui, ini dikarenakan seringkali data pasien dengan kriptokidisme bercampur dengan data pasien dengan testis retraktil. Dari suatu penelitian serial oleh Scorer dan Ferrington ( 1971 ) didapatkan hasil kasus kriptokidisme pada neonatus sebesar 4,3%, pada bayi dan anak-anak 0,8% dan pada orang dewasa sebesar 0,7%. Gilbert dan Hamilton ( 1940 ) melaporkan 7000 pasien dengan tumor testis dan mendapatkan 12% ( 840 pasien ) dari mereka memliki riwayat kriptokidisme. Henderson dkk ( 1979 ) menyimpulkan bahwa pria dengan riwayat kriptokidisme memiliki resiko3-14 kali untuk terkena tumor testis dibanding pria tanpa riwayat kriptokidisme. Campbell ( 1942 ) megemukakan penelitiannya bahwa 25% pasien dengan kriptokidisme bilateral dan akhirnya menjadi kanker testis memiliki resiko yang besar untuk terkena tumor sel germinal testis untuk kedua kalinya pada testis sisi yang lain.1
b. Faktor yang didapat
Trauma
Meskipun trauma memiliki andil pada terjadinya teratoma pada unggas akibat zinc-induced atau cooper induced, tapi pada manusia kemungkinan trauma sebagai penyebab terjadinya tumor testis belum secara jelas diketahui.1
Hormon
Terjadinya fluktuasi hormon seks memiliki kontribusi bagi perkembangan tumor testis, ini didasari oleh penelitian pada hewan dan manusia. Pemberian estrogen pada tikus yang sedang hamil menyebabkan tikus tersebut melahirkan anak-anak yang menderita kriptokidisme dan disgenesis kelanjar gonad ( Nomura dan Kanzak,1977 ). Penelitian oleh Cosgrove ( 1977 ) memperlihatkan hal yang sama bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu yang mendapatkan diethylstilbestrol atau kontrasepsi oral menderita kriptokidisme dan disgenesis kelenjar gonad. 1
Atrofi
Terjadinya infeksi bakteri nonspesifik virus mump pada testis diduga menjadi penyebab terjadinya atrofi testis yang potensial menjadi penyebab terjadinya tumor testis. Namun demikian peran atrofi testis sebagai faktor penyebab terjadinya tumr testis masih merupakan spekulasi.1
Terdapat klasifikasi besar yang membagi tumor testis menjadi 2 yaitu :
1. Tumor sel germinal testis, termasuk dalam kelompok ini adalah
seminoma, karsinoma sel embrional, tumor yolk sac, trratoma,
koriokarsinoma dan mixed cell tumor.
2. Tumor non sel germinal testis, meliputi tumor sel leydig, tumor
sel sertoli dan gonadoblastoma.
TUMOR SEL GERMINAL TESTIS
Tumor sel germinal merupakan tumor testis yang paling sering
ditemukan sebagi tumor primer yaitu meliputi kira-kira 90-95 % dari
seluruh tumor primer testis ( seminoma dan non seminoma
) dan sisanya adalah neoplasma non germinal ( tumor sel leydig, tumor sel
sertoli dan gonadoblastoma ).3
Sejumlah sistem klasifikasi dikemukakan untuk membagi tumor sel
germinal testis. Sistem klasifikasi berdasarkan tipe histologi dari tumor
ini adalah sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan.3
Berdasarkan klasifikasi ini tumor sel germinal testis dapat dibagi menjadi
:
• Seminoma
• Non seminoma germ cell tumor ( NSGCT ), termasuk di dalamnya
adalah karsinoma sel embrional, teratoma, koriokarsinoma dan tumor-tumor
campuran ( mixed tumors )
1. Seminoma
Terdapat 3 subtipe gambaran histologis dari tumor jenis ini yaitu :
• Seminoma klasik
Disebut juga dengan typical seminoma. Seminoma jenis ini meliputi sebagian
besar dari seluruh kasus seminoma ( 85%), sering terjadi pada dekade ke 4
kehidupan namun tidak jarang terjadi pada pria usia 40 atau 50 tahunan.
Secara makroskopis tampak nodul berwarna abu-abu yang menyatu dan secara
mikroskopis telihat lapisan yang monoton pada sel besar dengan sitoplasma
yang jernih dengan inti sel padat. Pada 10-15% kasus tampak terlihat
sel-se sinsitioteofoblas dan ini sesuai dengan jumlah kasus seminoma yang
disertai dengan adanya produksi hCG. 1
• Seminoma anaplastik
Meliputi 5-10% seluruh kasus seminoma. Untuk mendiagnosis adanya seminoma
anaplastik secara mikroskopis harus ditemukan 3 atau lebih sel mitosis
perlapang pandang besar dan sel-sel nya memperlihatkan adanya intisel
pleomorfisme dengan derajat yang lebih tinggi dari subtipe seminoma
klasik. Seminoma anapastik cenderung memperlihatkan staging yang lebih
tinggi dari pada subtipe seminoma klasik. Meskipun sangat jarang, seminoma
anaplastik menjadi sangat penting karena 30% pasien yang akhirnya
meninggal karena seminoma adalah dari subtipe anaplastik. Sejumlah tanda
yang menunjukkan bahwa seminoma ini lebih agresif dan lebih memiliki
potensi menyebabkan kematian dari pada jenis klasik. Hal tersebut dapat
dilihat bahwa seminoma jenis ini : (a) Memiliki aktifitas mitotik yang
lebih besar, (2) rate of invasion yang lebih tinggi, (3) rate of metastase
yang tinggi dan (4) Produksi tumor marker terutama hCG yang lebih tinggi.
1
• Seminoma spermatositik
Subtipe ini meliputi 5-10% dari seluruh subtipe seminoma. Secara
mikroskopis tampak variasi ukuran sel dan karakter sel berupa perbedaan
pada kekeruhan sitoplasma sel dan terlihat adanya intisel yang bulat
dengan kromatin yang memadat. Lebih dari setengah pasien dengan seminoma
spermatositik berumur lebih dari 50 tahun. 1
2. Nonseminoma
Terdapat 5 tipe tumor yang merupakan bagian dari tumor sel germinal
nonseminoma, yaitu :
a. Karsinoma sel embrional
Terdapat 2 varian / tipe dari karsinoma sel embrional yaitu :
• Tipe dewasa
Secara histologis memperlihatkan tanda pleomorfisme dan batas sel yang
tidak jelas. Secara makroskopis kemungkinan tampak terlihat adanya
hemoragis yang luas dan jaringan yang nekrotik. 3
• Tipe infantil
Dengan nama lain tumor yolk sac atau tumor sinus endodermal adalah tumor
testis tersering pada bayi dan anak-anak. Jika ditemukan pada usia dewasa
maka kemungkinan merupakan tipe campuran dan sangat mungkin jenis tumor
yang menghasilkan AFP. Secara mikroskopis terlihat adanya sitoplasma yang
mengalami vakuolisasi oleh adanya deposit lemak dan glikogen. Tampak pula
terlihat badan embrioid dan terlihat seperti embrio berusia 1-2 minggu
yang terdiri dari sebuah ruang yang dikelilingi oleh sinsitiotrofoblas dan
sitotrofoblas. 3
b. Teratoma
Tumor ini dapat ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Tumor ini terdiri
lebih dari satu lapisan sel germinal yang bervariasi dalam maturasi dan
diferensiasinya. Secara makroskopis tumor ini tampak berlobus-lobus dan
terdiri dari beragam ukuran kista-kista yang berisi materi gelatin dan
musin.
. Secara mikroskopis, ektoderm mungkin ditunjukkan oleh jaringan neural
dan epitel skuamosa, endoderm oleh saluran cerna, pankreas dan jaringan
Teratoma jenis matur memiliki gambaran struktur yang jinak yang berasal
dari ektoderm, mesoderm dan endoderm, sedangkan teratoma jenis immatur
terdiri dari jaringa primitif yang tidak terdiferensiasi pembentuk sistem
respirasi sedangkan mesoderm ditunjukkan oleh otot polos atau otot lurik,
jaringan kartilago dan tulang. 3
c. Koriokarsinoma
Kasus dengan koriokarsinoma murni adalah kasus yang jarang. Keganasan ini
terlihat sebagai sebuah lesi yang kecil dan biasanya terdapat suatu
pendarahan pada bagian tengahnya. Secara klinis, koriokarsinoma merupakan
keganasan yang agresif karena tumor ini menyebar luas secara hematogen
lebih awal. Sebaliknya sebuah lesi kecil pada testis dapat merupakan suatu
metastase jauh dari keganasan di tempat lain. 3
Gambaran mikroskopis koriokarsinoma Gambaran
miroskopis koriokarsinoma
d. Mixed cell tumor
Yang termasuk dalam tumor jenis mixed cell sebagian besar (25%) adalah
teratokarsinoma yang bercampur dengan teratoma dan karsinoma sel
embrional. Lebih dari 6% dari seluruh tumor testis adalah jenis mixed
cell dengan salah satu komponennya adalah seminoma. Pengobatan untuk
karsinoma mixed cell yang terdiri campuran antara seminoma dan nonseminoma
sama dengan pengobatan untuk tumor nonseminoma saja. 3
e. Karsinoma in situ
Pada sebuah penelitian yang melibatkan 250 pasien dengan tumor testis satu
sisi, Berthelsen dkk (1982) mengemukakan bahwa 13 (5,2%) pasien memiliki
karsinoma in situ pada testis sisi yang lainnya, persentase ini bahkan 2
kali lebih besar daripada persentase kasus kanker testis yang mengenai
kedua testis. Dari 13 kasus itu setelah dilakukan pengamatan selama 3
tahun 2 kasus berkembang menjadi kanker testis yang bersifat invasif. 3
Pola penyebaran tumor
Tumor testis hampir selalu bermetastasis secara limfogen kecuali
koriokarsinoma yang menyebar secara hematogen sejak staging awal. Tumor
testis kanan dapat menyebar ke kelenjar getah bening daerah
interaortocaval yang terletak sejajar dengan hilus ginjal kanan,
selanjutnya tumor akan menyebar ke daerah precaval, preaorta, paracaval,
iliaka komunis kanan dan kelenjar getah bening iliaka eksterna kanan.
Tempat yang menjadi daerah penyebaran tumor testis kiri adalah paraaorta
yang sejajar dengan daerah hilus ginjal kiri, selanjutnya tumor akan
menyebar ke kelenjar getah bening preaorta, iliaka komunis kiri dan iliaka
eksterna kiri.
Dari sebuah pengamatan oleh Donahue, Zachary dan Magnard ( 1982 )
memperlihatkan bahwa tumor testis kiri tidak pernah bermetastase ke
kelenjar getah bening di sisi kanan, sedangkan tumor testis kanan
seringkali bermetastasis ke kelenjar getah bening pada sisi
kiri.Terjadinya penyebaran ke kelenjar getah bening di iliaka eksterna
distal dan obturator oleh karena invasi tumor ke epididimis dan funikulus
spermatikus sedangkan penyebaran ke kelenjar getah bening inguinal
disebabkan terjadi invasi tumor ke tunika albuginea dan ke kulit skrotum.
Tempat yang paling sering menjadi lokasi penyebaran tumor testis
adalah daerah retroperitoneal, tempat lainnya yang juga menjadi lokasi
penyebaran tumor testis adalah paru-paru, hepar, otak, tulang, ginjal,
kelenjar adrenal, gastrointestinal dan limpa. 3
Gejala dan tanda
Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan kanker testis
adalah pembesaran testis yang berlangsung gradual yang tidak disertai
dengan rasa nyeri. Penegakkan diagnnosis kanker testis diperlukan untuk
memutuskan dilakukan terapi definitif ( orchidectomy ) dan sering kali
pasien mengalami keterlambatan penegakkan diagnosis ( biasanya 3 – 6 bulan
) dan ini berkaitan dengan insiden terjadinya metastase tumor. Adanya
gejala nyeri akut pada testis ditemukan pada 10% kasus dan mungkin
berhubungan dengan pendarahan intratestikuler atau oleh adanya proses
iskemia/infark. 3
Kira-kira 10% pasien mengeluh oleh suatu gejala yang diakibatkan
penyebaran/metastase tumor. Keluhan nyeri punggung adalah keluhan tesering
yang dirasakan penderita, keluhan ini akibat penyebaran tumor ke
retroperitoneal. Gejala lain adalah batuk atau sesak yang disebabkan
metastase ke paru, anoreksia,mual dan muntah ( penyebaran ke
retroduodenal ) nyeri tulang ( metastease ke tulang ) dan pembengkakan
pada ekstremitas inferior ( oleh karena obstruksi vena cava ) dan mungkin
saja ditemukan massa di daerah leher ( metastase ke kelenjar getah bening
supraclavicula ). Seringkali kelainan ini ditemukan secara tidak sengaja
karena tidak ada keluhan apapun. 3
Pada pemeriksaan fisik dengan melakukan pemeriksaaan bimanual
ditemukannya masa atau pembesaran yang menyeluruh pada testis adalah tanda
utama pada banyak kasus. Masa biasanya keras dan tidak menimbulkan nyeri
tekan dan dapat dengan mudah dipisahkan dari epididimis. Seringkali tanda
ini dikaburkan oleh adanya hidrocelle tapi dapat diatasi dengan
pemeriksaan transluminasi pada skrotum.
Pemeriksaaan pada abdomen dapat ditemukan masa yang besar di
daerah retroperitoneal. Perlu juga dilakukan pemeriksaan pada daerah
supraclavucula, axilla dan inguinal. Pada 5% kasus tumor sel germinal
ditemukan ginekomastia tapi akan lebih besar pada pasien tumor sel leydig
dan tumor sertoli ( 30-50% ), hal ini kemungkinan berkaitan dengan
interaksi yang kompleks antara hormon testosteron, estrogen, estradiol,
prolaktin, human chorionic somatomammotropin dan hCG. 3 Terjadinya
ginekomastia dapat disebabkan atau juga tidak disebabkan oleh
hormon-hormon tersebut. Hubungan antara ginekomastia morfologi tumor
primer dan kelainan endokrin masih belum sempurna dapat diterangkan
Pemeriksaan laboratorium
Sejumlah penanda biokomia sangat diperlukan untuk mendiagnosis dan
penatalaksanaan karsinoma testis yaitu α-fetoprotein ( AFP ), human
chorionic gonadotropin ( hCG ), dan lactic acid dehydrogenase ( LDH ). 3
Alfa fetoprotein adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 70.000
dalton dan waktu paruh 4-6 hari, ditemukan pada bayi usia kurang dari 1
tahun, meningkat dengan kadar yang bervariasi pada pasien dengan non
seminoma germ cell tumor ( NSGCT ) dan tidak pernah ditemukan pada kasus
seminoma.. Human chorionic gonadotropin adalah suatu glikoprotein dengan
berat molekul 38.000 dalton, waktu paruhnya 24 jam. Pada orang normal
hormon ini secar signifikan tidak dianggap ada namun meningkat pada pasien
dengan NSGCT dan dapat meningkat pada pasien seminoma ( 7 % ). Lactic acid
dehydrogenase adalah enzim intrasel denagn berat molekul 134.000 dalton.
Enzim ini dalam keadaan normal ditemukan di otot ( otot polos, lurik dan
jantung ), hati, ginjal dan otak. Kadarnya meningkat baik pada pasien
NSGCT dan seminoma.
Penanda lain yang juga dapat dipakai untuk menunjukkan adanya
kanker testis adalah placental alkaline phospatase ( PLAP )dan
gamma-glutamyl transpeptidase ( GGT ). 3
Pemeriksaan pencitraan
Tumor primer testis dapat dengan cepat dan tepat ditentukan
dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi pada testis. Sekali kanker
testis terdiagnosis setelah dilakukan orchiectomy inguinal maka staging
harus dilakukan. Pemeriksaan foto rontgen dada dan CT-scan abdomen dan
pelvis dilakukan untuk mengetahui adanya metastase ke paru dan
retroperitoneal yang paling sering menjadi tempat penyebaran tumor testis.
Magnetic resonance imaging ( MRI ) secara umum tidak memberikan informasi
gambaran radiologis yang lebih baik daripada CT-scan pada kasus tumor
testis. 3
Pada tahun 1996 the American Joint Committee mengemukakan suatu
klasifikasi TNM yang mencoba membuat standar staging secara klinis pada
kanker testis, yaitu :
• T ( Tumor primer )
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : kanker intratubular ( karsinoma in situ )
T1 : Tumor terbatas pada testis dan epididimis, tidak
terdapat invasi ke
pembuluh darah
T2 : Tumor melewati tunika albugenia atau terdapat
invasi ke pembuluh
darah
T3 : Tumor mencapai funikulus spermatikus
T4 : Tumor mencapai kulit skrotum
• N ( Kelenjar getah bening regional )
Nx : Adanya metastase ke kelenjar getah bening tidak dapat
ditentukan
N0 : Tidak terdapat metastase ke kelenjar getah bening
N1 : Terdapat metastase ke kelenjar getah bening dengan
ukuran lesi
≤ 2 cm dan melibatkan ≤ 5 kelenjar geatah bening
N2 : Metastase > 5 kelenjar, ukuran massa 2-5 cm
N3 : Ukuran massa > 5 cm
• M ( metastase jauh )
Mx : Adanya metastase jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak terdapat metastase jauh
M1 : Ditemukan adanya metastase jauh
• S ( Tumor marker pada serum )
Sx : Tumor marker tidak tersedia
S0 : Nilai kadar tumor marker pada serum dalam batas normal
S1 : Nilai kadar Lactic acid dehydrogenase (LDH) <> 10 x normal atau hCG > 50.000 mlU/ml atau AFP
> 10.000ng/ml
Stadium dan tingkat penyebaran karsinoma testis ( Peckham ) 5
STADIUM LOKASI TUMOR
I Tumor terbatas pada testis dan rete testis
IIA Tumor mengenai KGB retroperitoneal,ukuran <> 2 Cm dan <> 2 Cm
III Tumor mengenai KGB supraklavikula atau mediastinum
IV Metastase ekstralimfatik
Diagnosis Banding
Kesalahan dalam membuat diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi
pada kira-kira 25 % pasien dengan tumor testis dan pada akhirnya
menimbulkan keterlambatan dalam penatalaksanaanya dan kesalahan yang
bersifat fatal berupa tindakan pembedahan melalui approach yang keliru (
Insisi pada skrotum ) untuk melakukan eksplorsi testis.3
Kelaianan yang paling sering membuat seorang klinisi melakukan
kesalahan diagnosis adalah epididimitis atau epididimoorchitis. Pada
keadaan awal epididimitis memperlihatkan gejala berupa pembesaran, nyeri
tekan pada epididimis yang sangat jelas terpisah dari testis, tapi pada
keadaan lanjut dengan peradangan yang menjalar ke testis maka
gejala-gejala tadi akan melibatkan juga testis. Adanya riwayat demam,
discharge uretra dan gejala iritatif pada berkemih lebih memungkinkan
untuk mendiagnosis epididimis. Pemerksaan dengan USG dapat menentukan
bahwa pembesaran berasal dari epididimis dan buakn dari testis.3
Kelaianan kedaua yang seringkali menyebabkan kekeliruan dalam
membuat diagnosis tumor testis adalah hidrokel, pemeriksaan transluminasi
skrotum dapat dengan mudah membedakan antara adanya cairan pada hidrokel
dengan masa padat pada tumor testis. Pada 5-10% pasien dengan tumor testis
ditemukan adanya hidrokel dengan demikian apabila dengan pemeriksaan fisik
terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya maka pemeriksaan USG
merupakan suatu keharusan.3
Kelaianan lain yaitu spermatokel, massa kistik pada epididimis,
hematokel oelh karena trauma, varikokel dan orchitis granulomatosis yang
sering disebabkan oleh tuberkolosis. Tuberkolosis pada testis hampir
selalu berasal dari infeksi kuman ini pada epididimis. Merupakan hal yang
sangat sulit untuk membedakan pembengkakan oleh radang tuberkolosis dengan
massa tumor testis, oleh karena itu jiak pada pemberian OAT didapatkan
respon yang lambat maka sebaiknya dilakukan eksplorasi testis.1
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pasien dengan tumor sel germinal adalah merujuk
pada riwayat alamiah dari tumor, staging klinis dan efektifitas
pengobatan. Tindakan orchiectomi radikal adalah tindakan bedah yang harus
dilakukan. Apabila dari serangkaian pemeriksaan adanya kanker testis tidak
dapat di singkirkan maka tindakan ini dapat dikerjakan. Tindakan biopsi
melalui skrotum atau membuka testis harus dihindari. Penatalaksanaan
selanjutnya tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi dan staging
tumor secara patologi. 3
A. Penatalaksanaan tumor dengan staging I ( T1-T3, N0, M0, S0 )
Seminoma
Pasien yang secara klinis menunjukkan gejala dan tanda tumor yang
terbatas pada testis, pemberian radiasi adjuvant terhadap kelenjar getah
bening retroperitoneal dan kemoterapi adalah pilihan terapi paska
orchiektomi. Radiasi adjuvan masih merupakan terapi pilihan pada penderita
seminoam stage I ( T1-T3, N0, M0, S0 ) seperti juga pada jenis
nonseminoma.1
Dengan melakukan orchiektomi radikal dan radioterapi pada daerah
retroperitoneal ( biasanya 2500-3000 cGy ), paraaorta dan pelvis
ipsilateral maka 95% seminoma stage I dapat sembuh. Seminoma merupakan
tumor yang radiosensitif. Penelitian terakhir membuktikan bahwa sekitar
15% pasien dengan staging I klinis telah menyebar ke daerah
retroperitoneal. 3
Meskipun efek samping pemberian radiasi dosis rendah jarang terjadi tapi
pada pemberian dalam jangka waktu lama pada beberapa laporan menunjukkan
adanya infertilitas, komplikasi pada saluran cerna dan kemungkinan radiasi
menginduksi timblnya keganasan lain.
Nonseminoma
Tindakan orchiektomi inguinal saja mampu menyembuhkan 60-80%
pasien nonseminoma. Tindakan retroperitoneal lymph node dissection ( RPLND
) perlu dilakukan dengan tujuan terapi dan diagnostik. Penyebaran dapat
terjadi pada kira-kira 30% pasien dengan nonseminoma nyang secara klilnis
masuk dalam staging I ( occult metastase ) sehingga pada klasifikasi
patologi masuk dalam staging IIA. Tindakan RPLND dilakukan melalui
thoracoabdominal approach. 3
B. Penatalaksanaan tumor dengan staging II ( N1-N3 )
Seminoma
Seminoma staging II ( stage IIA dan IIB ) memiliki angka
kesembuhan ( cure rate ) 85 – 95 %. Termasuk dalam staging ini adalah
pasien dengan tumor yang telah bermetastase ke daerah retroperitoneal yang
berukuran tranversal kurang dari 5 cm dengan staging N1-N3. Sebagai terapi
pilihan tumor pada staging II adalah radioterapi dengan angka kekambuhan
kurang dari 5 % dengan5-years survival ratenya 70 – 92 %. Pada pasien
dengan ukuran tumor di retroperitoneal lebih dari 5 cm ( N3 ) kira-kira
setengahnya akan bermetastase keluiar regio tersebut.
Perlu diperhatikan pasien-pasien dengan penyakit ginjal tapal kuda
( hourse shoe kidney ) dan inflammatory bowel disease maka terapi
radiasi merupakan kontraindikasi dan kemoterapi adalah terapi pilihan pada
pasien seminoma dengan kelainan ini. Obat-obat kemoterapi yang digunakan
adalah bleomycin, etoposide dan cisplatin ( BEP ).
Nonseminoma
Retroperitoneal lymph node dissection ( RPNLD ) merupakan tindakan
operasi yang standar dilakukan pada pasien dengan tumor nonseminoma stage
IIA dan IIB yang pada hasil pemeriksaan tumor marker ( AFP ) normal, jika
terdapat peningkatan kadarnya daam darah dan timbul gejala dan tanda
adanya kelaianan sistemik akibat metastase tumor maka terapi yang harus
dilakukan adalah pemberian kemoterapi primer yang terdiri dari bleomycin,
etoposide dan cisplatin ( BEP ), vinblastin, cyclophosphamide,
dactinomicyn, bleomycin, dan cisplatin ( VAB-6 ) dan
cisplatin-etoptoside.
Cisplatin diberikan sebanyak dua siklus jika ditemukan :
• Lebih dari 6 kelenjar getah bening terkena.
• Terdapat massa tumor yang berukuran lebih dari 2 cm.
• Adanaya tumor di luar kelenjar getah bening.
Jika terjadi kekambuahan maka pemberian cisplatin dapat dilakukan sebanyak
3-4 siklus. 3
C. Penatalaksanaan tumor dengan staging III ( T1-T4, N0-N3, M1-M2,
S0-S3 )
Seminoma
Penatalaksanaan seminoama staging tinggi ( high tumor burden )
yang meliputi pasien dengan tumor yang telah mengalami penyebaran yang
luas, ukuran tumor yang besar, terdapat metastase ke viseral dan kelenjar
supradiafragma termasuk juga pasien yang masuk dalam staging IIC ( T1-T4,
N0-N3, M1-M2, S0-S3 ) pemberian cisplatin dapat mengobati 60-70% pasien.
Terdapat pembagian seminoma pada staging ini berdasarkan respon terhadap
penobatan yaitu :
• Seminoma dengan prognosis baik
Pasien ini memiliki kemungkinan sembuh yang tinggi dengan respon terhadap
terapi mencapai 88-95%. Regimen obat yang diberikan berupa etoposide dan
cisplatin sebanyak 4 siklus atau dapat diberikan BEP sebanyak 3 siklus.
• Seminoma dengan prognosis buruk
Pasien dengan respon yang buruk terhadap kemoterapi memiliki respon rate
sebesar 40% dan pasien ini dapat diberikan BEP sebanyak 4 siklus.
Nonseminoma
Pasien dengan massa tumor yang besar di daerah retroperitoneal (
lebih dari 3 cm atau terdapat pada 3 slice CT-scan ) atau terdapat
metastase maka terapi dengan kemoterapi primer merupakan keharusan setelah
dilakukan orchiektomi. Jika hasil pemeriksan tumor marker normal dan
pemeriksan radiologi terlihat adanya massa maka harus dilakukan tindakan
reseksi karena massa tersebut 20% merupakan sisa massa tumor, 40% adalah
teratoma dan 40 % merupakan massa tumor yang mengalami fibrosis. Beberapa
ahli menganjurkan tetap perlu dilakukan RPNLD karena lebih dari 10% kasus
tetap ditemukan massa tumor, walaupun hasil kemoterapi menunjukkan hasil
yang sangat baik perlu dilaukan evaluasi kadar tumor marker selama
pemberian kemoterapi untuk mengetahui respon tumor terhadap pengobatan. 3
Orchiektomi radikal
Indakasi dilakukannya orchiektomi radikal adalah pasien dengan kecurigaan
adanya tumor testis. Kecurigaan tumor testis apabila pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya massa yang irreguler yang berasal dari testis,
tidak terdapat keluhan nyeri. Kecurigaan ini harus dipastikan melalui
pemeriksaan Doppler ultrasonografi pada skrotum. Adanya tumor testis
diperlihatkan oleh gambaran hipoekoik yang hipervaskuler pada lesi
intratestikuler. Tindakan ini dilakukan untuk menentukan diagnosis
histopatologi dan staging T. Tindakan ini pada sebagian besar kasus
memiliki morbiditas dan mortalitas yang rendah serta mampu mengontrol
perkembangan tumor lokal. Pada sedikit kasus memang terjadi hal yang tidak
diinginkan tetapi ini disebabkan oleh karena tumor spillage, orchiectomy
subtotal atau operasi melalui transscrotal ( whitmore, 1982 ). Tindakan
orchiectomy dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lokal dan
dapat dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan. Pasien dalam posisi
supine dengan skrotum ditempatkan dalam medan operasi yang steril.
Dilakukan insisi oblique pada daerah inguinal kira-kira 2 cm diatas
tuberculum pubicum dan dapat diperlebar sampai ke skrotum bagian atas
untuk mengangkat tumor yang berukuran besar. Insisi pada fasia Camper dan
Scarpa sampai ke aponeurosis obliqus eksternus dilanjutkan dengan
menginsisi aponeurosis sesuai dengan arah seratnya sampai mencapai anulus
inguinalis internus. Indentifikasi nervus ilioinguinalis dan funikulus
spermatikus setinggi anulus inguinalis internus dibebaskan dan diisolasi
dengan menggunakan klem atraumatik atau turniket penrose 0,5 inchi.Testis
dan kedua tunika pembungkusnya dikeluarkan dari skrotum secara tumpul
dengan hati-hati, jika akan dilakukan biopsa atau subtotal orchiectomy,
pengeleluaran testis dari skrotum dilakukan sebelum membuka tunika
vaginalis dan menginsisi jaringan testis. Orchiectomy radikal diakhiri
dengan memasukkan funikulus spermatikus ke dalam anulus inguinalis
internus dan meligasi pembuluh darah vas deferen dan funikulus spermatikus
secara sendiri-sendiri. Dilakukan irigasi pada luka dan skrotum dan
hemostasis lalu dapat dilalukan pemasangan protease testis. Selanjutnya
dilakukan penutupan aponeurosis muskulus obliqus eksternus dengan benang
prolene 2-0, fasia scarpa dijahit dengan benang absorble dan selanjutnya
dilakukan penutupan kulit. Dressing dengan penekanan pada skrotum dapat
meminimalisasi terjadinya udema paska operasi.2
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani orchiektomi
radikal adalah :
• Pendarahan, yang terlihat dengan adanya hematoma di skrotum atau
reroperitoneal.
• Infeksi luka operasi.
• Trauma pada nervus ilioinguinal yang mengakibatkan terjadinya
hipostesia pada tungkai ipsilateral dan permukaan lateral skrotum. 1
Hasil dan Prognosis
Seminoma
Setalah dilakukaan orkiectomi radikal dan pemberian radiasi
eksterna, maka pada pasien seminoma stag I 5-years disease-fre surviva
rate mencapai 95% dan 92-94% pada seminoma stag IIA. Pada pasien dengan
staging ang lebih tinggi yang telah menjalani orkiekomi radikal yang
diikuti dengan pemberian kemoterapi maka 5-years disease-fre surviva rate
nya 35-75%.3
Nonseminoma
Pasien pada stag I yang menjalani orchiektomi radikal dan RPLND
memiliki 5-years disease-fre surviva rate yang tinggi mencapai 96-100%.
Pada pasien stag II dengan massa tumor yang kecil dan telah menjalani
orkoiektomi radikal dan kemoterapi 5-years disease-fre surviva rate nya
mencapai 90% sedangkan pasien pada stag ini tapi dengan massa tumor yang
besar yang telah dilakukan orchiektomi radikal diikuti dengan kmoterapi
dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate sebesar 55-80%.3
Tindak Lanjut
Semua pasien dengan kanker sel germinal memerlukan pengamatan
secara teratur. Pasien yang telah menjalani tindakan RPLND atau
radioterapi memerlukan pengamatan lanjutan setiap 3 bulan selama 2 tahun,
lalu setiap 6 bulan selama 5 tahun selanjutnya setiap satu tahun. Pada
setiap kunjungan haruslah dilakukan pemeriksaan fisik pada sisa testis,
abdomen dan kelenjar getah bening sekitarnya, perlu pula dilakukan
pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan kadar AFP, hCG dan LDH. Selain
itu perlu pula dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorak dan abdomen. 1
TUMOR TESTIS NON SEL GERMINAL
Tumor testis non sel germinal hanya meliputi 5-6% dari seluruh
kasus tu or testis. Terdapat 3 tipe tumor testis non sel germinal yaitu
tumor sel leydig, tumor sel sertoli, dan gonadoblastoma.
1. Tumor sel leydig
Tumor sel leydig adalah tumor testis non sel germinal tersering yang
dijumpai meliputi 1-3% dari seluruh tumor testis. Tumor ini 25% terjadi
pada anak-anak, dangan 5-10% merupakan tumor bilateral. Terdapat jenis
yang jinak dan ganas. Penyebab tumor jenis ini tidak diketahui dan tidak
seperti pada tumor testis sel germinal yang dihubungkan dengan
kriptokidisme maka tumor sel leydig tidak dikaitkan dengan kelainan
tersebut. 3
Tampak adanya lesi kecil yang berwarna kekuningan tanpa adanya gambaran
hemoragi dan nekrosis. Terdapat sel-sel heksagonal yang granuler dengan
sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola lemak. 3
Gambaran mikroskopos tumor Gambaran mikroskopos
tumor
sel leydig tipe jinak
sel leydig tipe ganas
Temuan klinis yang dapat ditemukan pada penyakit ini berupa virilization
pada pasien usia pra pubertas dan merupakan suatu tumor jinak. Pada pasien
dewasa biasanya tidak bergejala meskipun pada 20-25% kasus terdapat adanya
ginekomastia dan tumor bersifat ganas pada 10% kasus. Pada pemeriksaan
laboratorium terdapat peningkatan kadar 17-ketosteroid serumdan urin dan
juga kadar estrogen. Pemeriksaan 17-ketosteroid penting untuk membedakan
jenis jinak dengan yang ganas, peningkatan 10-30 kali kadar enzim ini
adalah pertanda untuk tumor ganas dan indikasi untuk dilakukan RPLND. 3
Terapi inisial dari tumor ini adalah orchiektomi radikal. Peran
kemoterapi untuk tumor ini maih belum dapat ditentukan karena kasus tumor
sel leydig sangatlah jarang. 3
Progonosis tumor sel leydig jenis jinak sangat baik sedangkan
untuk jenis yang ganas prognosisnya buruk.3
2. Tumor sel sertoli
Tumor sel sertoli merupakan kasus yang sangat jarang, hanya meliputi
kurang dari 1% dari seluruh kasus tumor testis. Dari seluruh kasus tumor
sel sertoli 10% nya merupakan jenis ganas sedangkan sisanya merupakan lesi
jinak. Pada lesi jiank terlihat sel-sel dengan gambaran yang baik seperti
pada sel leydig normal sedangkan pada jenis ganas terlihat sel dengan
batas-batas yang tidak jelas. Secara mikroskopis tampak sel-sel yang
heterogan yang merupakan campuran dari sel epitel dan sel stroma.3
Gambaran mikroskopis tumor
Gambaran mikroskopis tumor
sel sertoli jenis jinak
sel sertoli jenis ganas
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa tumor pada testis dan
terjadi virilisasi pada penderita anak-anak. Pada 30% kasus ditemukan
adanya ginekomastia pada pasien dewasa.3
Tindakan orchiektomi merupakan terapi awal untuk tumor ini dan RPLND
diindikasikan untuk jenis tumor ganas. Peran kemoterapi dan radioterapi
untuk tumor sel sertoli masih belum jelas. 3
3. Gonadoblastoma
Gonadoblastoma hanya meliputi 0,5% dari seluruh kasus tumor testis dan
hampir selalu ditemukan pada pasien dengan disgenesis testis. Penderita
tumor ini sebagian besar dijumpai pada usia dibawah 30 tahun.
Manifestasi klinis yang terlihat pada kelainan ini berkaitan dengan
keadaan yang mendasari timbulnya gonadoblastoma yaitu adanya disgenesis
kelenjar gonad. Hal yang penting diperhatikan bahwa 4/5 pasien
gonadoblasoma secara fenotip adalah wanita dan pada penderita pria murni
biasanya menderita kriptokidisme dan hipospadia. 3
Terapi pilihan untuk gonadoblastoma adalah orchiektomi
radikal. Jika ditemukan adanya disgenesis kelenjar gonad maka tindakan
gonadektomi kontralateral selain dari pengangkatan kelenjar gonad yang
terkena merupakan indikasi dari kelainan ini karena gonadoblastoma
cenderung untuk mengenai kedua testis
24 April 2009
Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung
Definisi
Penyakit Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Dilihat dari namanya penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyebab
Penyebab timbulnya penyakit Hirschsprung adalah kelainan genetik. Penyakit ini juga dapat ditemukan bersamaan dengan sindrom Down, kanker tiroid, dan neuroblastoma.
Gejala
Karena terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hirschsprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan.
Gambar. Penyakit Hirschsprung.
Perhatikan perbedaan besar usus antara gambar yang kiri dan kanan.
Pemeriksaan Tambahan
Pada waktu memeriksakan bayi ke dokter, dokter akan memasukkan jari tangan (kelingking) kedalam anus bayi (colok dubur). Hal ini bertujuan untuk menilai adanya pengenduran otot dubur.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah roentgen perut, barium enema, dan biopsi rektum. Roentgen perut bertujuan untuk melihat apakah ada pembesaran/pelebaran usus yang terisi oleh tinja atau gas. Barium enema, yaitu dengan memasukkan suatu cairan zat radioaktif melalui anus, sehingga nantinya dapat terlihat jelas di roentgen sampai sejauh manakah usus besar yang terkena penyakit ini. Biopsi (pengambilan contoh jaringan usus besar dengan jarum) melalui anus dapat menunjukkan secara pasti tidak adanya persarafan pada usus besar. Biopsi ini biasanya dilakukan jika usus besar yang terkena penyakit ini cukup panjang atau pemeriksaan barium enema kurang dapat menggambarkan sejauh mana usus besar yang terkena.
Penatalaksanaan
Terdapat 2 langkah operasi yang dapat dilakukan untuk menangani penyakit ini, yaitu :
- Langkah pertama adalah dengan dilakukan kolostomi, yaitu pembuatan saluran pembuangan tinja pada dinding perut dengan cara membuat lubang pada dinding perut lalu kemudian menyambungkan usus (yang masih sehat) ke lubang tersebut. Hal ini memungkinkan pengeluaran tinja melalui dinding perut.
- Langkah kedua adalah setelah berat badan, usia, dan kondisi bayi sudah cukup, dapat dilakukan penutupan kolostomi tersebut serta menyambungkan kembali usus besar ke tempatnya semula, yaitu di anus.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
MASALAH KESEHATAN SEHUBUNGAN DENGAN MALNUTRISI
Malnutrisi
Malnutrisi lebih diartikan sebagai kondisi kekurangan bahan bahan nutrisi esensial pada tingkat seluler sebagai akibat dari faktor fisiologi, individu, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan politik (Berkaukas, dkk, 1994 hal 116). Sedangkan menurut Gordon (1982), malnutrisi adalah pemasukan yang tidak memadai dari satu atau lebih jenis makanan atau bahan makanan yang dibutuhkan bagi metabolisme tubuh, misalnya pemasukan protein, zat besi atau vitamin C yang tidak memadai (Kozier, & Erb, 1983 hal 673).
Malnutrisi dibedakan atas defisiensi primer dan defisiensi sekunder. Defisiensi primer terjadi ketika bahan bahan nutrisi yang esensial seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dalam makanan. Sedangkan defisiensi sekunder terjadi karena ketidakmampuan tubuh mencema dan menyerap makanan, gangguan metabolisme atau karena peningkatan kebutuhan nutrisi. Misalnya, peningkatan kebutuhan karbohidrat pada pasien diabetes melitus.
Malnutrisi dapat terjadi secara akut maupun kronik. Secara akut, sifatnya hanya sementara dan reversibel tanpa efek samping yang lama. Malnutrisi kronik terjadi dalam waktu yang lama dan kemungkinan bersifat irreversibel (Williams, 1985 hal 116). Malnutrisi yang terjadi karena defisiensi protein, kalori atau keduanya, dapat menyebabkan malnutrisi energi protein, yang dikenal sebagai kwashiorkor atau marasmus. Kwashiorkor depigmentasi disebabkan oleh defisiensi protein. Gejala-gejalanya meliputi gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kelemahan otot, depigmentasi rambut dan kulit serta edema. Sedangkan maramus terjadi karena kekurangan protein dan kalori. Manifestasi kliniknya meliputi atropi otot, kelemahan dan edema. Kelainan-kelainan ini umumnya terjadi pada anak anak (Windsor, 1991). Ada beberapa indikasi sehingga seseorang dikatakan kekurangan nutrisi (Kozier, & Erb, 1983 haL 673):
1. berat badan 20 % atau lebih rendah daripada tinggi dan bentuk badan ideal.
2. Berat badan rendah dengan masukan , makanan memadai.
3. Masukan makanan kurang dari keperluan tubuh.
4. Kesukaran makan.
5. Ada tanda dan gejala masalah pencernaan seperti nyeri abdomen, kram abdomen, diare dan bising usus hiperaktif.
6. Kelemahan otot dan penurunan tingkat energi.
7. Rambut rontok (alopesia).
8. Pucat pada kulit, membran mukosa dan konjungtiva.
Adapun faktor faktor yang mempengaruhi kekurangan nutrisi adalah alasan ekonomi, pendidikan, status sosial, anatomi fisiologi pencernaan dan status psikologi.
Pertama, ekonomi. Umumnya, masyarakat dengan ekonomi lemah, sering mengalami kekurangan nutrisi atau malnutrisi, khususnya protein karena harganya yang mahal.
Kedua, pendidikan. Kurang pengetahuan tentang nutrisi dan manfaat nutrisi memberi kontribusi terhadap terjadinya malnutrisi. Orang yang kurang pendidikan sering kali tidak sadar dengan kebutuhan nutrisi/makanan yang terbaik untuk tubuhnya.
Ketiga, status sosial. Individu biasanya cenderung mengkonsumsi makanan sama dengan masyarakat disekitarnya atau berdasarkan status sosial.
Keempat, anatomi dan fisiologi. Sebelum makanan digunakan untuk metabolisme, makanan terlebih dahulu diabsorpsi setelah dicema. Banyak faktor fisiologi yang dapat mengganggu proses pencernaan atau penyerapan makanan. Misalnya : gigi yang kurang, sakit gigi, adanya lesi dimulut sehingga proses pengunyahan makanan terganggu. Kesulitan menelan (disfagia) karena nyeri atau radang pada esofagus juga mengganggu pencernaan. Masalah pencernaan pada lambung atau usus dapat disebabkan tumor atau ulkus pada saluran pencernaan. Kadang kala pasien yang minum obat obatan tertentu juga akan mengalami gangguan pencernaan seperti : mual dan muntah.
Kelima, psikologis. Anoreksia dan berat badan rendah sering ditemukan pada pasien dengan depresi.
Anoreksia nervosa ditandai dengan kehilangan berat badan yang drastis secara berkepanjangan dan pasien memelihara berat badannya pada kadar rendah yang abnormal (Huse & Lucas, 1983). Anoreksia nervosa biasanya terjadi pada usia masa muda sampai dewasa tua. Anoreksia nervosa terutama terjadi pada wanita. Tanda/gejala anoreksia nervosa dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
-
No.
Gejala gejala
Prevalansi gejala ( % )
Tanda tanda
Prevalansi tanda (%)
1 .
Amenorrhea
100
Hipotensi
20 85
2.
Konstipasi
20
Hipotermia
15 85
3.
Badan bengkak
30
Kulit kering
25 85
4.
Nyeri abdomen
20
Bradikardi
25 90
5.
Kedinginan
20
Lanugo
20 80
6.
Lethargi
20
Edema
20 25
7.
Energi berlebihan
35
Petechiae
10
Tabel: Tanda dan gejala anoreksia nervosa. Dari : Brownell K. D. & Foreyt, J.P.1986, Handbook of eating disorders.
Pengkajian nutrisi pada pasien dengan anoreksia nervosa meliputi :
1 . pengukuran antropometrik untuk mengkaji status fisik.
2. Pengukuran nilai biokimia untuk mengetahui defisiensi nutrisi.
3. Pemeriksaan klinik.
4. Mengkaji riwayat nutrisi untuk menentukan perkembangan penyakit, konsumsi kalori, protein, dan bahan makanan lainnya, pola makan dan perilaku makan, pengaruh psikologi dan sosial terhadap perilaku makanan, penggunaan obat obatan seperti vitamin, mineral, laksatif dan diuretik serta aktivitas fisik.
Komplikasi medis yang dapat terjadi pada pasien dengan anoreksia nervosa, (Barkaukas, dkk, 1994 hal. 130) adalah:
a. Komplikasi metabolisme
Kulit berwama kuning
Gangguan indra perasa
Hipoglikemia
b. Komplikasi gastrointestinal :
Perubahan pengosongan lambung
Pembengkakan kelenjar saliva
Dilatasi gaster
Konstipasi
c. Komplikasi kardiovaskuler:
Bradikardi
Aritmia
Efusi pericardial
Edema
Gagal jantung
d. Komplikasi ginjal :
• Perubahan konsentrasi urin
• Nefropati
e. Komplikasi cairan dan elektrolit:
• Dehidrasi
• Kelemahan
• Tetani
f. Komplikasi hematologi:
• Perdarahan
• Anemia
g. Komplikasi gigi:
• Dekalsifikasi
• Karies
h. Komplikasi endokrin
o Amenorrhea
0 Penurunan hasrat sexual
0 Impoten
i. Komplikasi lain:
• Kelemahan
• Hipotermia
Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
Tujuan utama asuhan keperawatan adalah memelihara agar kebutuhan nutrisi memadai. Tujuan asuhan keperawatan untuk pasien dengan gangguan nutrisi, antara lain :
1. Mencegah komplikasi masalah masalah nutrisi.
2. Status nutrisi terpelihara.
3. Menyusun menu yang disukai pasien dengan jumlah kalori yang memadai.
Intervensi keperawatan pada masalah nutrisi tergantung dari diagnosa keperawatan. Beberapa intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah nutrisi antara lain:
1. Meningkatkan nafsu makan.
Kurang nafsu makan atau anoreksia tidak jarang disertai keluhan fisik seperti kelemahan, lesu, cemas, depresi dengan atau tanpa nyeri lambung. Kondisi ini dalam waktu singkat kadang kala tidak menimbulakn masalah pada orang dewasa. Namun, bila berlangsung lama, timbul penurunan stamina dan masalah masalah nutrisi lainnya. Beberapa intervensi keperawatan untuk masalah nutrisi ini :
a. Menghilangkan atau mengurangi kondisi kondisi atau gejala gejala penyakit yang menyebabkan penurunan nafsu makan seperti menjaga kebersihan dan kesehatan kulit, memberi analgetik untuk nyeri atau antipiretik untuk demam dan menganjurkan istirahat untuk mengurangi kelelahan.
b. Memberikan makanan yang disenangi, sedikit demi sedikit tetapi sering dengan memperhatikan jumlah kalori dan tanpa kontra indikasi.
c. Menata ruang pasien senyaman mungkin sehingga meningkatkan nafsu makan pasien. Misalnya membuat ruang pasien bebas dari bau obat dan bau bauan lain yang mengganggu minat makan pasien.
d. Menurunkan stress psikologi. Kurang pemahaman tentang terapi dan prosedur operasi, dan rasa takut pada pasien akan menyebabkan anoreksia. Untuk itu perawat perlu mendiskusikan masalah-masalah diatas sehingga menurunkan stress yang dialami pasien.
2. Membantu pasien memenuhi kebutuhan nutrisi
A. Pasien vegetarian
Umumnya, masyarakat mulai menyadari akan bahaya memakan daging terlalu banyak. Sebagian orang telah beralih menjadi vegetarian, dengan alasan agama, ekonomi maupun fisik. Setidaknya, ada empat jenis vegetarian:
Pertama, vegan vegatarian : hanya mengkonsumsi makanan dari tumbuhan. Kedua, Lacto vegetarian: mengkonsumsi makanan dari tumbuh tumbuhan ditambah telur (tanpa susu). Ketiga, lacto ovo vegetarian : mengkonsumsi makanan dari tumbuhan, telur, dan susu. Keempat, frutarian : hanya mengkonsumsi buah buahan, kacang kacangan, minyak zaitun dan madu.
Prinsip utama yang harus diperhatikan oleh perawat dalam menyusun menu bagi vegetarian adalah kebutuhan protein, vitamin dan mineral terpenuhi dalam jumlah memadai. Bagi lacto ovo vegetarian, hal ini tidak terlampau sukar karena dapat mengkonsumsi susu dan telur sebagai sumber protein dan sayuran sebagai pelengkap sumber vitamin dan mineral. Sebaliknya, bagi vegan vegetarian, sumber protein tidak mungkin diperoleh dari susu dan telur yang bukan berasal dari tumbuhan. Untuk itu, protein nabati seperti kedelai (tahu, tempe), kacang kacangan, nasi dan coklat menjadi pilihan sebagai sumber protein.
Kiat mempersiapkan makanan bagi vegetarian
a. Pilihlah makanan dari berbagai jenis tumbuhan
b. Hindari makanan beralkohol dan tidak berkalori.
c. Pilihlah empat jenis makanan dari beberapa kelompok makanan vegetarian dibawah ini:
Altematif pertama :
Buah buahan dan sayuran (termasuk satu buah jeruk dan minimal satu sayuran berdaun hijau gelap).
Altematif kedua :
Buah buahan, roti dan cereal (untuk 4 porsi atau lebih).
Altematif ketiga
Susu dan bahan susu (minimal 2 cangkir).
Altematif keempat :
Makanan yang hanya mengandung protein saja seperti keju, kacang polong atau kacang kedelai (tahu, tempe) dan telur sebanyak 3 atau 4 butir per minggu.
Aftematif kelima :
Makanan yang bermineral dan vitamin A serta vitamin B12.
Altematif keenam :
Dapatkan vitamin D dari sinar matahari atau susu yang tidak terradiasi.
Altematif ketujuh
Jaga kebutuhan kalori (tambah minyak dan kacang) untuk vegeterian :
> Ganti susu hewani dengan susu kedelai, sayuran hijau dan buah buahan.
> Minimal makan dari 2 hal berikut setiap kali makan guna memenuhi kebutuhan asam amino, yaitu :
Buah buahan atau kacang kacangan.
Buncis kering atau kedelai rebus (tahu).
Gandum.
B. Pasien buta
Biasakan mereka belajar makan sendiri. Perawat harus selalu memotivasi mereka untuk mandiri. Namun, untuk pasien buta sementara, seperti : akibat operasi, perawat perlu menyuapi pasien ketika makan. Agar mereka mengenal ruang atau tempat makan perlu dijelaskan dan dikenalkan ruang atau tempat makan tersebut. Jangan lupa untuk memberi tahu pasien bila makanan yang diberikan berupa makanan yang panas.
C. Pasien yang tidak dapat mengunyah
Bagi pasien yang tidak dapat mengunyah baik akibat kecelakaan, tumor, operasi, maupun fraktur pada rahang, diperlukan suatu modifikasi agar pasien bisa makan. Hal yang perlu diperhatikan oleh perawat adalah kemungkinan pasien merasa rendah diri atau malu. Untuk itu, perawat perlu menjaga privacy dan harga diri pasien. Bila ternyata perlu disuapi, tanyakan pada pasien, apakah pasien mau disuapi oleh keluarganya. Karena biasanya pasien lebih suka disuapi anggota keluarga daripada oleh perawat.
D. Mempersiapkan pasien makan
Hal hal yang perlu diingat:
• Beri kesempatan ke kamar mandi sebelum makan
• Minta pasien membasuh tangan, berkumur atau gosok gigi dan menyeka muka
• Aturlah pasien pada posisi senyaman mungkin : duduk dikursi, dipinggir tempat tidur atau bersandar di tempat tidur
• Letakkan meja pada posisi yang cocok dan rapikan benda benda yang tidak diperlukan
• Bawa makanan segera setelah pasien merasa sudah siap, untuk menghindari rasa lelah
• Hindari melakukan test obat yang tidak enak sebelum atau sesudah makan
• Buang bau bau yang tidak sedap ke tempat sampah
• Tutupi hal hal yang tidak enak dipandang mata sewaktu makan, seperti luka atau darah
• Ganti baju pasien bila diperlukan
• Bila perlu luangkan waktu untuk bersama sama selama mungkin
• Jelaskan makanan makanan tertentu dan kegunaannya
• Pertimbanglkan kebiasaan dan budaya pasien
• Susun hidangan dengan menarik
• Bantu memasang serbet atau handuk supaya tidak terkena tumpahan makanan
• Temani pasien ketika makan
E. Cara menyuapi pasien
Langkah langkah kerjanya:
• Cuci tangan
• Usahakan agar pasien merasa nyaman
• Pasang serbet atau handuk untuk menghindari makanan jatuh ke pakaian pasien
• Letakkan hidangan senyaman mungkin
• Jangan terburu buru
• Duduk dengan santai supaya terasa rileks
• Gunakan alat alat yang perlu, seperti : garpu atau sendok
• Beri tahu pasien jika makanan panas atau dingin, anjurkan untuk mencicipi makanan terlebih dahulu
• Hati hati terhadap cairan panas
• Suapi sedikit demi sedikit dan kaji pasien, jangan sampai tersedak
• Setelah makan atur posisi sehingga ia merasa nyaman
F. Memotivasi pasien mengkonsumsi cairan
Dokter sering menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi cairan sebanyak mungkin, tetapi bagi pasien akan lebih baik jika diberikan sedikit demi sedikit. Untuk itu perawat dapat memotivasi pasien untuk minum dengan cara menawarkan cairan tersebut setiap kali perawat masuk ke ruangan pasien.
3. Nutrisi Enteral dan Parenteral
Meskipun pencernaan oral melalui saluran normal atau saluran pencernaan merupakan cara terbaik untuk masukan nutrisi pada pasien, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu cara ini bukan menjadi pilihan. Ada dua cara lain pemberian makanan dirumah sakit yaitu nutrisi enteral dan parenteral (Hui, 1985 hal 245).
Nutrisi enteral adalah pemberian makanan secara langsung ke dalam saluran pencernaan melalui selang (tube) atau dengan melakukan suatu insisi (perlukaan) pada area yang dituju. Sedangkan nutrisi parenteral adalah pemberian makanan secara langsung melalui injeksi sari sari makanan ke dalam pembuluh darah vena. Contoh nutrisi parenteral adalah terapi intravena dan nutrisi parenteral total atau parsial
Nutrisi Enteral
Ketika pemberian makanan melalui mulut tidak memungkinkan dilakukan pada pasien, maka nutrisi enteral merupakan suatu pilihan. Misalnya, pasien dengan tumor kepala dan leher, pasien dengan masalah masalah pada usus dan luka bakar yang parah. Pada kondisi-kondisi ini pemberian makanan dapat menggunakan selang (tube) melalui hidung ke lambung (nasogastric), jejunum, atau selang (tube) gastrotomi. Dapat juga dari hidung ke kerongkongan (nasopharyngeal route) atau dengan melakukan insisi pada usus bagian atas (Jejunostomi) (Hui, 1985 hal. 245).
Masalah masalah yang mungkin ditemui pada terapi nutrisi enteral, antara lain : masalah osmolalitas, ketidak seimbangan elektrolit, komplikasi gastro intestinal dan sikap ketergantungan karena pemberian makanan melalui selang (Farley, 1988).
Naso Gastric Tube (Selang Naso Gastrik)
Selang naso gastrik atau naso gastric tube (NGT) adalah pemasangan selang (tube) dari rongga hidung ke lambung untuk memasukkan makanan cair atau obat obatan cair atau padat yang dicairkan. Indikasi pemasangan NGT adalah pasien tidak sadar (koma), pasien dengan masalah saluran pencernaan atas seperti penyempitan atau stenosis pada esofagus, tumor pada mulut, faring atau esofagus. Pasien yang tidak mampu menelan dan pasien pasca operasi pada mulut, faring atau esofagus.
Pemasangan selang NGT hanya dapat dilakukan perawat sesuai program medik. Prosedur ini
membutuhkan keahlian karena perawat harus memastikan bahwa NGT tidak masuk ke dalam paru paru. Pemberian makanan melalui selang NGT tidak boleh dilakukan sampai perawat yakin bahwa selang NGT tepat masuk ke dalam lambung.
Komposisi makanan yang diberikan melalui NGT tergantung pada kemampuan pasien mencerna dan menyerap sari makanan dan keperluan pasien akan sari makanan. Campuran makanan yang diberikan melalui NGT biasanya berupa campuran makanan komersial (siap pakai) dan dapat diperoleh pada apotik atau berupa campuran yang biasa dipakai dalam suatu rumah sakit dimana keduanya hanya dapat diberikan jika ada resep sesuai program medik. Frekwensi pemberian makanan dan jumlah makanan yang diberikan juga sesuai dengan yang terdapat pada program medik.
Pada orang dewasa jumlah makanan yang diberikan biasanya 300 500 cc dalam setiap kali pemberian. Standar larutan yang diberikan berisi 1 kalori per milimeter (1 cc) dari larutan protein, lemak, karbohidrat, mineral, atau vitamin dalam proporsi tertentu. Makanan yang sering diberikan biasanya susu, gula, telur dan minyak sayuran (Kozier, & Erb, 1983 hal 678).
Hal pertama yang dilakukan perawat ketika akan memberi makanan melalui NGT adalah memastikan bahwa letak selang NGT tepat dilambung. Kemudian memasukkan cairan berkisar 10 15 cc ke dalam selang nasogastrik. Lalu memasukkan campuran makan/makanan secara perlahan lahan. Makanan yang diberikan tidak boleh terlalu panas atau dingin tetapi sesuai dengan suhu kamar untuk mencegah iritasi mukosa lambung.
Perawat bertanggung jawab dalam mengkaji kemungkinan komplikasi akibat pemasangan NGT (Taylor, dkk, 1989 haL 792), yaitu :
• Dehidrasi, diare dan kram pada usus. Gejala gejala ini sering timbul ketika campuran makanan yang digunakan dalam konsentrasi tinggi dan kandungan karbohidrat tinggi.
• Ditemukan glukosuria dan sering buang air kecil. Tanda ini dapat timbul karena campuran makanan yang diberikan mengandung karbohidrat tinggi.
• Mual. Rasa mual biasanya terjadi akibat pengosongan lambung yang lambat.
• Aspirasi campuran makanan. Hal ini merupakan komplikasi yang serius. Aspirasi dapat dicegah dengan mengatur pasien dalam posisi setengah duduk.
• Muntah. Muntah cenderung terjadi ketika makanan tidak meninggalkan lambung. Dalam kondisi ini, perawat dapat mengecek residu lambung dan mengkaji ulang jumlah campuran makanan yang diberikan.
Cara pemasangan NGT:
-
Cara
Rasional
1. Inspeksi keadaan rongga mulut dan rongga hidung pasien, gunakan sarung tangan bila perlu
Untuk melihat kebersihan mulut/hidung sebelum pemasangan NGT, disamping berguna untuk melihat kemungkinan obstruksi pada romngga hidung
2. Palpasi abdomen pasien
Hasil palpasi membantu untuk membandingkan keadaan abdomen sebelum dan sesudah pemasangan NGT
3. Periksa catatan keperawatan dan status pasien serta lembar catatan medik/pengobatan spt: rencana operasi
Pemasangan NGT boleh dilakukan sesuai program medik
4. Siapkan alat-alat:
a. Selang NGT nomor 14, 16 atau ukuran yg lebih kecil untuk anak-anak
b. siapkan jelly/lubricant.
c. kertas tes pH
d. sudip lidah
e. penlight/senter
f. syringe/alat suntik ukuran 50-100 cc
g. plester yg tidak menyebabkan iritasi
h. bengkok
i. gelas untuk mengisi air
j. tissue
k. normal saline (Nacl 0.9 %)
l. sarung tangan non steril dan steril
5. Jelaskan prosedur pemasangan pada pasien
Mencegah kesalahanpemasangan
Pasien bekerjasama dengan perawat
Mencegah kecemasan
Pasien tidak akan mencabut NGT
Mencegah pasien tidak mencabut NGT
6. cuci tangan dan pakai sarung tangan
Mencegah penyebaran infeksi silang (kuman)
7. Atur posisi pasien semi Fowler dengan bantal dibelakang bahu/ naikkan bagian kepala
Agar memudahkan pasien menelan dan mencegah iritasi pada saluran pencernaan
8. Siapkan alat alat yang diperlukan disamping tempat tidur dan pasang tirai
Memudahkan pemasangan NGT dan menjaga privacy
9. berdiri disamping kanan tempat tidur
Memudahkan pemasangan NGT
10. Taruh bengkok diatas dada dan berikan tissu pada pasien
Membantu mengeluarkan saliva (liur) akibat pernasangan NGT
11. Anjurkan pasien untulk rileks dan bernapas dengan salah satu hidung yang normal (fidak ada NGT), lalu lakukan aktivitas pada salah satu hidung yang aliran udaranya tinggi. (karena untuk mencegah ada/tidaknya obstruksi)
Memudahkan pemasangan NGT melalui hidung.
12.Ukur panjang NGT yang akan dimasukkan / dipasang
- diukur dari ujung hidung ketelinga lalu ke prosesus
xipodeus (bagian badan sternum) paling akhir atau
ujung
13.Beri tanda pada panjang NGT yang sudah di ukur, dengan menggunakan plester
Menentukan secara pasti panjang NGT yang akan masuk dad hidung ke lambung
14.Siapkan plester dengan panjang 10 cm 2 buah
Untuk memfiksasi ujung luar NGT dengan hidung
15.Pasang dan beri lubricant sepanjang NGT yang akan dipasang ke lambung
Selang licin akan dapat mengurangi iritasi pada saat memasang NGT
16.Instruksikan pasien untuk mengekstensikan leher kebelakang, lalu masukkan secara perahan lahan melalui lubang hidung sampai pada panjang selang yang ditentukan telah
Memudahkan masuknya selang NGT melalui hidung dan memelihara agar jalan nafas hidung tetap terbuka
17. lanjutkan memasukkan tube NGT sepanjang rongga hidung. Jika merasakan agak tertahan, putarlah selang NGT dan jangan paksakan untuk dimasukkan
Meminimalkan ketidaknyamanan pemasangan NGT. Hambatan disebabkan oleh bagian posterior hidung, memasukkan dengan cara memutar dan sedikit menarik membantu masuknya ujung selang ke faring
18. Jika tetap ada hambatan, cabut NGT, anjurkan pasien istirahat, olesi kembali selang NGT dan masukkan kembali selang NGT pada hidung yang lain
Mengurangi resiko iritasi/ pendarahan, meminimalkan rasa tidak nyaman.
19. Lanjutkan memasang selang NGT sampai melewati nasofaring.Jika gagal :
a. Hentikan pemasangan, suruh pasien rileks dan beri tissu (untuk menyerap liur)
b. Jelaskan bahwa pasien harus menelan ketika selang masuk ke faring
Mengurangi kecemasan dan meminimalkan resiko iritasi pada faring
20. Setelah selang melewati nasofaring (3 4 cm) anjurkan
pasien untuk menekuk leher dan anjurkan untuk menelan
Memperlancar masuknya selang
21. Jika setelah selesai memasang NGT sampai pada ujung yang telah ditentukan, anjurkan pasien rileks dan bernafas normal
Memberikan kenyamanan dan mengurangi rasa cemas pasien
22. Lakukan tes untuk mengetahui letak masuknya selang NGT. Ada 2 cara:
a. injeksi 15 sampai 20 cc kedalam lambung dan
pada saat bersamaan auskultasi daerah lambung
b. masukkan ujung bagian luar selang NGT ke dalam mangkuk yang berisi air, bila ada gelembung udara berarti masuk ke paru paru dan jika tidak ada berarti selang masuk pada lambung.
Mengetahui secara pasti bahwa selang NGT tepat masuk ke lambung
23.Fiksasi selang dengan plester yang telah disediakan. Fiksasi sisa selang dengan menggunakan peniti ke pakaian pasien.
Agar kedudukan selang tetap paten
Prosedur Pencabutan NGT
-
Cara
Rasional
1 . Periksa instruksi dokter untuk pencabutan NGT
Memeriksa dan menyediakan peralatan yang sesuai instruksi dokter dan menentukan urutan kerja
2. Jelaskan prosedur kepada klien
Penjelasan bertujuan agar dapat bekerja sama dengan klien
3. Siapkan pencatatan
Memberikan kemudahan dalam pelaksanaan tugas serta pertahankan akontabilitas
4. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
Mencegah penyebaran mikro organisme
5. Buka peniti selang dari pakaian klien secara hati hati.
Memudahkan dalarn pencabutan selang NGT
6. Tempatkan handuk diatas dada klien secara hati hati, buka plester dari hidung
Melindungi klien kontak langsung dengan sekresi gaster. Tissu diperlukan ketika klien membersihkan hidung saat pencabutan selang NGT
7. Instruksikan klien untuk menarik nafas dalam dan menahannya
Memudahkan perawat menarik selang NGT. Meminimalkan trauma dan ketidaknyamanan klien
8. Jepit selang dengan pinset secara hati hati dan cabutlah selang ketika pasien menahan nafas
Penjepitan mencegah keluarnya isi dalam selang
9. Tempatkan ujung selang ke dalarn kantong plastik
Mencegah terkontarninasi dengan mikro organisme
10. Bersihkan mulut dan hidung klien dan beri kenyamanan
Memberikan rasa nyaman pada klien
11. Pindahkan semua peralatan dan cuci tangan
Mencegah penyebaran mikro organisme
12. Catat hasil pencabutan selang
Dokumentasi keperawatan mempertahankan aspek legal
Nutrisi parenteral
Dalam berbagai kasus, seorang pasien dapat memperoleh makanan langsung melalui aliran darah atau melalui jalan pintas sistem pencernaan.
a. Terapi Intravena
Untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit digunakan terapi intravena yaitu pemberian cairan natrium klorida (saline), amonium klorida dan dextrosa (5 20 %), Ringer laktat melalui pembuluh vena. Terapi ini biasanya diberikan pada proses kelahiran yang abnormal, pembedahan atau pasien dengan gastroenteritis. Selain itu, terapi ini dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan yang memadai secara enteral, seperti pada pasien kanker yang menjalani terapi intensif, luka bakar yang parah (derajat III atau IV), sepsis dan fraktur ganda.
Tujuan terapi ini untuk memenuhi kebutuhan kalori minimal dan diberikan kepada pasien selama 1 2 hari untuk mencegah kelaparan.
b. Nutrisi Parenteral Total
Nutrisi parenteral total (Total Parenteral Nutrition/TPN ) adalah suatu terapi yang kompleks dilakukan untuk memenuhi keperluan nutrisi pasien melalui rute intravena. Larutan yang digunakan dalam terapi ini adalah larutan hiperosmolar (konsentrasi tinggi). Keberhasilan terapi ini tergantung pada jenis makanan yang diresepkan, penanganan kateter intravena, perawatan luka insisi dan penanganan komplikasi sebagai akibat terapi ini (Grant, 1988).
Pemberian terapi nutrisi parenteral total bertujuan untuk memberikan kalori dalam jumlah yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Bahan makanan tersebut diberikan melalui pembuluh vena sentral yang memiliki aliran darah yang cepat, seperti : vena subclavia, vena jugularis atau pembuluh vena besar lainnya (Hui, 1985, hal 252).
Beberapa alasan dilakukannya terapi nutrisi parenteral total adalah pertama, organ tubuh secara langsung dapat menerima dan menggunakan kalori, asam amino, asam lemak esensial, vitamin dan mineral tanpa sisa. Kedua, saluran pencernaan dapat diistirahatkan. Ketiga, mempercepat proses pertumbuhan organ dan jaringan tubuh karena langsung memperoleh nutrisi dalam jumlah yang memadai. Keempat, TPN dapat menyebabkan peningkatan berat badan, menjadikan keseimbangan nitrogen positif, mempercepat penyembuhan luka serta sintesis hormon dan enzim.
Terapi ini hanya digunakan apabila masukan makanan secara enteral tidak memadai atau merupakan kontra indikasi. TPN tidak diberikan pada pasien yang saluran pencernaannya dapat berfungsi selama 7 sampai 10 hari, pada pasien yang masih dapat mencerna makanan dengan baik, pada pasien yang mengalami stress atau trauma. Terapi ini juga tidak dianjurkan pada pasien dengan tumor yang telah mengalami metastasis (Grant, 1988).
EVALUASI
Kriteria hasil untuk pasien dengan masalah nutrisi tergantung pada diagnosa keperawatan. Beberapa kriteria yang dapat digunakan :
• Pasien dapat makan sendiri
• Kebutuhan energi pasien dapat terpenuhi
• Berat badan berkurang 2 kg dalam 14 hari (untuk pasien dengan obesitas)
• Berat badan naik 0,2 kg dalam 7 hari (untuk pasien dengan berat badan yang menurun)
• Pasien dapat makan tanpa keluhan mual dan muntah
• Komposisi bahan bahan nutrisi esensial dalam diet seimbang.
| TANDA DAN GEJALA | |
| NUTRISI MEMADAI | NUTRISI TAK MEMADAI |
Penampilan (gambaran Umum) |
|
|
Gambaran khusus |
|
|
Berat |
|
|
Rambut |
|
|
Muka (wajah) |
|
|
Mata |
|
|
Bibir |
|
|
Lidah |
|
|
Gigi |
|
|
Kelenjar |
|
|
Kulit |
|
|
Kuku |
|
|
Kerangka |
|
|
Otot |
|
|
Extremitas |
|
|
Abdomen |
|
|
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi pencapaian tujuan dari asuhan keperawatan yang telah dilakukan tentang status nutrisi pasien, dapat digunakan tabel diatas yang menunjukkan perbedaan status nutrisi yang memadai dan tidak memadai.